Diprediksi ke Bawah Rp 14.000/US$, Rupiah Malah Keok!
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menunjukkan tanda-tanda bakal mencapai Rp 14.000/US$ di awal perdagangan Senin (18/10), tetapi apa daya di akhir sesi justru berakhir di zona merah.
Belakangan ini, rupiah membukukan penguatan cukup tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS), bahkan diprediksi bisa menembus ke bawah Rp 14.000/US$, tetapi aksi ambil untung membuyarkan penguatan rupiah.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,28% ke Rp 14.030/US$. Apresiasi rupiah bertambah menjadi 0,36% ke Rp 14.020/US$ yang merupakan level terkuat sejak 18 Februari lalu.
Setelahnya, penguatan rupiah terpangkas dan akhirnya berbalik melemah. Di akhir perdagangan, rupiah berada di Rp 14.105/US$, melemah 0,25%.
Beberapa ekonom mengatakan rupiah bisa saja menembus Rp 14.000/US$. Kali terakhir rupiah berada di level tersebut pada 17 Februari lalu.
"Bisa saja overshoot menguat di bawah Rp 14.000/US$," ungkap Ekonom Bank BCA David Sumual kepada CNBC Indonesia, Senin (18/10/2021).
Faktor pendorong terbesarnya adalah realisasi ekspor pada September 2021. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan RI pada September 2021 tercatat surplus sebesar US$ US$ 4,37 miliar.
Neraca perdagangan Indonesia sudah 17 beruntun terus mencatat surplus.
Hal yang senada juga disampaikan oleh Aldian Taloputra, Ekonom Bank Standard Chartered Indonesia. Aldian menambahkan, harga komoditas batu bara hingga minyak kelapa sawit diperkirakan masih terus meningkat, sehingga mendorong ekspor dan penguatan nilai tukar rupiah.
"Kalau kami lihat penguatan rupiah saat ini didorong oleh penguatan harga komoditas terutama batubara, metal, palm oil, dan gas. Selain itu kita juga melihat permintaan domestik yang belum normal juga berkontribusi pada masih relatif rendahnya permintaan impor," papar Aldian.
Sepanjang pekan lalu lebih dari 1% dan pagi ini berlanjut lagi hingga mencapai level terkuat sejak 18 Februari lalu. Dengan penguatan tersebut tentunya bisa memicu aksi ambil untung (profit taking) yang membuat rupiah melemah.
Apalagi China mengirim kabar buruk, pertumbuhan ekonominya melambat lebih dalam ketimbang prediksi di kuartal III-2021.
Biro Statistik Nasional China pagi ini melaporkan pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari produk domestik bruto (PDB) tumbuh 4,9% melambat signifikan dari kuartal II-2021 sebesar 7,9%, dan di bawah prediksi analis yang disurvei Reuters sebesar 5,2%.
Hal ini tentunya memicu kecemasan akan pelambatan ekonomi global yang semakin dalam. Tetapi rupiah masih cukup perkasa, yang menjadi indikasi sentimen terhadap Mata Uang Garuda cukup bagus.
Tanda-tanda profit taking terlihat dari pelemahan rupiah saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) serta obligasi yang menguat. Aliran modal bahkan masuk ke dalam negeri cukup besar.
Di pasar saham investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 1 triliun hari ini. Kemudian di pasar obligasi, juga terjadi capital inflow di pasar sekunder. Hal ini terlihat dari penurunan yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun yang turun 5,9 basis poin hari in ke 6,210%.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Saat harga naik yield akan turun. Saat harga turun berarti terjadi aksi beli.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)