Sentimen Pasar Beragam, Yield SBN Ditutup Bervariasi

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
30 September 2021 19:07
Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup variatif pada perdagangan Kamis (30/9/2021), di tengah beragamnya sentimen pasar global hari ini.

Sikap investor di pasar SBN cenderung beragam, di mana pada SBN bertenor 1, 3, 25, dan 30 tahun, investor ramai memburu SBN, ditandai dengan menguatnya harga dan melemahnya imbal hasil (yield). Sisanya yakni SBN berjatuh tempo 5, 10, 15, dan 20 tahun cenderung dilepas investor, ditandai dengan melemahnya harga dan menguatnya yield.

Melansir data dari Refinitiv, dari SBN yang mengalami pelemahan yield, SBN bertenor 1 tahun menjadi yang paling besar pelemahannya pada hari ini, yakni mencapai 13,6 basis poin (bp) ke level 3,208%. SBN berjatuh tempo 5 tahun menjadi yang paling besar penguatan imbal hasil, yakni mencapai 6,3 bp ke level 5%.

Sementara, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara kembali menguat 2 bp ke level 6,353% pada hari ini. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Beragamnya pergerakan yield SBN pada hari ini karena investor merespons beragam terkait sentimen pasar pada hari ini.

Dari China, data aktivitas manufaktur periode September 2021 tercatat variatif, di mana data manufaktur versi Biro Statistik Nasional (National Bureau Statistic/NBS) China dan Caixin/Markit tercatat berbeda.

NBS melaporkan data aktivitas manufaktur China yang tercermin pada Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager's Index/PMI) periode September 2021 mengalami kontraksi ke angka 49,6, dari sebelumnya pada Agustus lalu di angka 50,1.

Namun, PMI manufaktur China versi Caixin/Markit periode September 2021 menunjukkan ekspansi menjadi 50, dari sebelumnya pada Agustus lalu di angka 49,2 Data PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.

Meskipun bervariasi, namun secara garis besar, PMI manufaktur Negeri Tirai Bambu sudah mengalami penurunan dalam 6 bulan beruntun, kali terakhir mencatat kenaikan pada Maret lalu, dengan angka indeks saat itu sebesar 51,9.

Sementara itu dari perkembangan krisis likuiditas Evergrande, pihak manajemen perusahaan properti terbesar kedua di China tersebut mengatakan bahwa pihaknya telah membayar sekitar 10% dari produk manajemen kekayaan (wealth management products/WMP) yang jatuh tempo pada hari ini, 30 September.

"Pembayaran telah dilakukan pada hari ini dan dana yang terkait telah dikirim ke akun investor," kata Evergrande dalam siaran persnya melalui website-nya.

Sementara itu dari Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah AS (Treasury) kembali melemah pada perdagangan pagi hari ini, menyusul aksi jual investor di pasar saham AS di tengah kekhawatiran inflasi.

Dilansir data dari CNBC International, yield Treasury acuan bertenor 10 tahun kembali melemah 1 bp ke level 1,529% pada pukul 07:01 pagi waktu AS, dari sebelumnya pada penutupan Rabu (29/9/2021) kemarin di level 1,539%.

Yield Treasury bertenor 10 tahun sempat melonjak ke level 1,56% pada Rabu kemarin, karena investor kembali khawatir terkait inflasi AS yang berpotensi lebih lama terjadi dan prospek kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang lebih ketat.

Ketua The Fed, Jerome Powell dalam diskusi panel Europe Central Bank Forum yang diselenggarakan oleh Bank Sentral Eropa kemarin mengatakan bahwa ia memperkirakan inflasi masih akan terjadi hingga 2022.

"Hal ini juga membuat para investor frustrasi melihat masalah rantai pasokan yang menjadi tidak lebih baik, bahkan pada margin saat ini tampaknya menjadi sedikit lebih buruk, kami melihat hal itu mungkin berlanjut hingga tahun depan, dan membuat inflasi akan terjadi lebih lama dari yang kami perkirakan." kata Powell dalam Europe Central Bank Forum.

Investor juga terus memantau perkembangan terbaru dari kabar terkait plafon utang pemerintah. Pada Rabu kemarin, DPR resmi mengesahkan RUU yang akan menangguhkan plafon utang AS.

Hal ini terjadi setelah Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengatakan kepada Ketua DPR, Nancy Pelosi pada Selasa (28/9/2021) lalu bahwa Kongres memiliki waktu hingga 18 Oktober untuk menaikkan atau menangguhkan plafon utang.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular