Dolar Australia Makin Murah, Ada Yang Mau Borong?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Kamis, 30/09/2021 13:20 WIB
Foto: dollar Australia (REUTERS/Daniel Munoz)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam 2 hari terakhir, nilai tukar dolar Australia jeblok lebih dari 1% melawan rupiah. Alhasil, kursnya kini berada di level termurah 10 bulan terakhir.

Melansir data Refinitiv, dolar Australia kemarin merosot hingga 0,7% ke Rp 10.253/AU$. Level tersebut merupakan yang termurah sejak 17 November tahun lalu. Sehari sebelumnya mata uang Negeri Kanguru ini melemah 0,53%.

Penurunan tajam dan posisinya yang di level termurah 10 bulan memicu aksi bargain hunting, membuat dolar Australia hari ini naik 0,63% ke Rp 10.317,56/AU$.
Tetapi, bukan tidak mungkin dolar Australia akan kembali melemah. Sebab ada kabar buruk dari China.


Pemerintah China hari ini melaporkan PMI manufaktur bulan September turun menjadi 49,6 dari bulan sebelumnya 50,1.

PMI manufaktur Negeri Tirai Bambu sudah mengalami penurunan dalam 6 bulan beruntun, kali terakhir mencatat kenaikan pada Maret lalu, dengan angka indeks saat itu sebesar 51,9.

Tren tersebut hingga akhirnya mengalami kontraksi memicu kecemasan akan pelambatan ekonomi China akan kembali muncul.

Pemerintah China kini memiliki kebijakan pengurangan emisi. Kebijakan tersebut membuat pasokan listrik di beberapa provinsi menjadi terbatas, dan berdampak pada aktivitas pabrik. Selain itu, tingginya harga bahan baku juga menjadi pemicu kontraksi sektor manufaktur negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.

China merupakan mitra dagang utama Australia. Ketika perekonomian Negeri Tirai Bambu melambat, maka Negeri Kanguru juga akan terkena imbasnya.

Pelemahan dolar Australia belakangan ini juga terjadi setelah Goldman Sachs memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China.

Ekonom dari Goldman Sachs memangkas proyeksi produk domestik bruto (PDB) China di tahun ini menjadi 7,8% dari sebelumnya 8,4%. Pemangkasan tersebut cukup tajam, sebab China dikatakan akan menghadapi tantangan dari pembatasan konsumsi energi.

"Kendala pertumbuhan yang relatif baru berasal dari peningkatan regulasi untuk target konsumsi dan intensitas energi yang ramah lingkungan," kata ekonom Goldman Sachs dalam sebuah laporan yang dikutip CNBC International.

Rilis data PMI manufaktur China membuat proyeksi Goldman Sachs tersebut semakin nyata, perekonomian China sedang melambat.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG Menguat, Pasar Modal RI Masih Jadi Pilihan Investor