Bursa Asia Dibuka Mixed, Shanghai-STI Menguat
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia dibuka bervariasi pada perdagangan Kamis (30/9/2021), setelah investor merespons beragam data aktivitas manufaktur China versi NBS pada periode September 2021 yang kembali berkontraksi.
Indeks Nikkei Jepang dibuka turun tipis 0,02%, Hang Seng Hong Kong merosot 0,79%, dan KOSPI Korea Selatan melemah 0,29%.
Sementara untuk indeks Shanghai Composite China dibuka menguat 0,25% dan Straits Times Singapura bertambah 0,51%.
Indeks Nikkei Jepang dibuka turun tipis, setelah Jepang resmi mempunyai perdana menteri (PM) baru setelah Yoshide Suga mengumumkan mengundurkan diri pada awal bulan ini.
Pada Rabu (29/9/2021) kemarin, Jepang sudah memiliki PM baru. Mantan Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida memenangkan pemilihan partai berkuasa, Partai Liberal Demokrat (LDP).
Kishida mengalahkan tokoh populer Taro Kano. Ia menang dalam dua putaran, menyingkirkan lawan lainnya Sanae Takaichi dan Seiko Noda.
Dengan kemenangan tersebut, Kishida otomatis menjadi Perdana Menteri Jepang, menggantikan Yoshide Suga mulai Senin pekan depan.
Sementara itu dari China, Biro Statistik Nasional (National Bureau Statistic/NBS) melaporkan data aktivitas manufaktur China yang tercermin pada Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager's Index/PMI) periode September 2021 mengalami kontraksi ke angka 49,6, dari sebelumnya pada Agustus lalu di angka 50,1.
Namun, data PMI Jasa China periode September mengalami ekspansi ke angka 53,2, dari sebelumnya pada Agustus lalu di angka 47,5.
Purchasing Managers' Index (PMI) menggunakan angka 50 menjadi ambang batas. Di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya berarti kontraksi.
PMI manufaktur Negeri Tirai Bambu sudah mengalami penurunan dalam 6 bulan beruntun, kali terakhir mencatat kenaikan pada Maret lalu, dengan angka indeks saat itu sebesar 51,9.
Hal ini tentunya akan berdampak negatif ke pasar finansial global. Kecemasan akan pelambatan ekonomi China akan kembali muncul.
Sebelumnya, Ekonom dari Goldman Sachs memangkas proyeksi produk domestik bruto (PDB) China di tahun ini menjadi 7,8% dari sebelumnya 8,4%. Pemangkasan tersebut cukup tajam, sebab China dikatakan akan menghadapi tantangan dari pembatasan konsumsi energi.
"Kendala pertumbuhan yang relatif baru berasal dari peningkatan regulasi untuk target konsumsi dan intensitas energi yang ramah lingkungan," kata ekonom Goldman Sachs dalam sebuah laporan yang dikutip CNBC International.
Sementara itu, investor di China saat ini masih menanti rilis data PMI manufaktur periode September 2021 versi Caixin/Markit.
Investor di Asia juga akan memantau perkembangan masalah keuangan China Evergrande, setelah Reuters melaporkan bahwa beberapa pemegang obligasi tidak menerima pembayaran kupon jatuh tempo pada Rabu kemarin.
Variatifnya pergerakan bursa Asia pada hari ini cenderung mengikuti pergerakan bursa Amerika Serikat (AS), Wall Street yang juga ditutup bervariasi, namun dengan mayoritas menguat pada perdagangan Rabu kemarin waktu AS.
Indeks Dow Jones menguat 0,26% ke 34.390,72 dan S&P 5000 berhasil naik 0,16% ke 4.359,46. Sementara Nasdaq masih melemah 0,24% ke level 14.512,44.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (Treasury) bertenor 10 tahun yang menjadi acuan pasar berfluktuasi kemarin, tetapi masih di atas level 1,5%.
Kenaikan imbal hasil memukul kinerja saham teknologi karena membuat arus kas mereka di masa mendatang menyempit, sehingga menekan dividen.
Selain pergerekan yield Treasury, investor juga memantau kemajuan penyelesaian pemasukan AS yang sudah tiris, dan harus diizinkan menaikkan batas utang jika tak ingin layanan publik terhenti (shutdown) karena tak ada sumber dana pembayaran gaji mereka.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen mengingatkan tenggat akhir penaikan batas utang pemerintah AS adalah 18 Oktober. Jika tidak dicapai juga, dia mengingatkan bakal ada konsekuensi besar bagi perekonomian.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)