Yield Treasury AS Melonjak, Bursa Asia Dibuka Berjatuhan
Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia dibuka berjatuhan pada perdagangan Rabu (29/9/2021), menyusuli pelemahan bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada Selasa (28/9/2021) waktu setempat karena kembali naiknya imbal hasil obligasi pemerintah AS.
Indeks Nikkei Jepang dibuka ambruk 1,91%, Hang Seng Hong Kong ambles 1,72%, Shanghai Composite China tergelincir 1,08%, Straits Times Singapura melemah 0,44%, dan KOSPI Korea Selatan anjlok 1,77%.
Indeks Nikkei Jepang dan Korea Selatan dibuka ambruk nyaris 2%, karena ambruknya saham-saham teknologi di bursa saham kedua negara tersebut, dampak dari kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (Treasury).
Saham konglomerat Jepang, Softbank Group jatuh nyaris 2% dan saham Samsung Electronics di Korea Selatan tergelincir 2,1%.
Bursa saham Asia cenderung mengikuti pergerakan bursa Wall Street pada perdagangan kemarin waktu setempat, karena menguatnya yield Treasury hingga menyentuh lebih dari level 1,5%.
Tiga indeks utama di Wall Street ditutup ambruk pada dini hari tadi waktu Indonesia. Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambles 1,63% ke level 34.299,99, S&P 500 ambruk 2,04% ke 4.352,64, bahkan Nasdaq Composite anjlok nyaris 3% atau lebih tepatnya anjlok 2,83% ke posisi 14.546,68.
Saham teknologi di Wall Street ditutup anjlok dan berdampak ke saham teknologi di Asia. Hal ini karena kenaikan imbal hasil akan memicu lonjakan beban pembiayaan obligasi mereka, sehingga saham mereka menjadi kurang menarik. Imbal hasil tinggi juga akan membatasi pertumbuhan mereka.
Pada penutupan perdagangan Selasa kemarin waktu AS, yield Treasury AS tenor 10 tahun pada kembali menanjak 5,55 basis poin (bp) ke level 1,5461%, dan mencapai level tertinggi sejak pertengahan Juni lalu.
Selain itu, masalah politik klasik di AS, yakni batas utang, juga membebani sentimen pelaku pasar. AS masih terancam mengalami shutdown.
Kongres AS harus menyetujui Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) AS pada Jumat (1/10/2021) mendatang untuk menghindari shutdown.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen juga mengatakan Kongres AS harus menyetujui kenaikan batas utang pada 18 Oktober agar Amerika Serikat terhindar dari gagal bayar (default).
Sejauh ini, Partai Republik masih menolak untuk menaikkan batas utang.
Di lain sisi, krisis energi di Eropa juga turut membebani sentimen pasar pada hari ini. Krisis energi tersebut dikhawatirkan akan memberikan dampak secara global. Krisis tersebut dimulai akibat meroketnya harga gas alam.
Reuters melaporkan sepanjang tahun ini harga gas alam di Eropa sudah meroket hingga 280%, sementara di Amerika Serikat (AS) lebih dari 130%.
Berdasarkan data Refinitiv, pada perdagangan Selasa harga gas alam di Henry Hub (Oklahoma, AS) tercatat US$ 5,841/MMBtu, naik 2,37% dari hari sebelumnya dan menjadi rekor tertinggi sejak Februari 2014.
Banyak faktor yang dikatakan memicu lonjakan harga gas alam. Mulai dari rendahnya persediaan, pengurangan penggunaan energi fosil, hingga kurangnya supply dari Rusia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)