Rupiah Melemah Tanpa Perlawanan, Gegara Treasury AS dan China

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 September 2021 15:47
U.S. dollar and Euro banknotes are seen in this picture illustration taken May 3, 2018. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration
Foto: REUTERS/Dado Ruvic/Illustration

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah tanpa perlawanan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (28/9). Yield Treasury yang menanjak membuat dolar AS bertenaga, sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi China yang dipangkas memberikan sentimen negatif ke rupiah.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.250/US$. Tidak sempat masuk ke zona hijau, rupiah terus tertajan di zona merah, melemah hingga 0,18% ke Rp 14.275/US$. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 2 September lalu.

Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.270/US$, melemah 0,14% di pasar spot.

Yield obligasi AS (Treasury) tenor 10 tahun naik lagi pada hari ini dan kembali ke atas 1,5%, level tertinggi dalam 3 bulan terakhir.

Sebelumnya yield Treasury sudah naik dalam 3 hari beruntun dengan total 18,66 basis poin. Kenaikan yang cukup tajam dan membuat Surat Berharga Negara (SNB) tertekan.

Yield SBN tenor 10 tahun pagi ini naik 5,5 basis poin ke 6,299%.

Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi. Ketika yield naik artinya harga turun, begitu juga sebaliknya. Ketika harga turun berarti ada aksi jual, dan bisa jadi oleh investor asing. Artinya terjadi capital outflow dari pasar obligasi Indonesia.

Hal tersebut membuat rupiah tanpa perlawanan pada hari ini.

Selain itu rupiah juga mendapat sentimen negatif dari dipangkasnya proyeksi pertumbuhan ekonomi China. Ekonom dari Goldman Sachs memangkas proyeksi produk domestik bruto (PDB) China di tahun ini menjadi 7,8% dari sebelumnya 8,4%. Pemangkasan tersebut cukup tajam, sebab China dikatakan akan menghadapi tantangan dari pembatasan konsumsi energi.

"Kendala pertumbuhan yang relatif baru berasak dari peningkatan regulasi untuk target konsumsi dan intensitas energi yang ramah lingkungan," kata ekonom Goldman Sachs dalam sebuah laporan yang dikutip CNBC International.

Presiden China, XI Jinping pada September tahun lalu mengumumkan China akan mencapai puncak emisi karbon pada 2030 dan menjadi bebas karbon pada 2060.

Kebijakan tersebut membuat beberapa perusahaan nasional dan daerah mengurangi produksi batu bara dan proses yang menghasilkan karbon tinggi.

Perhatian kini tertuju pada testimoni ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell di hadapan Kongres malam ini. Powell akan menyatakan jika inflasi yang tinggi di AS akan terjadi lebih lama ketimbang yang diperkirakan.

Sementara itu pendapat berbeda justru diungkapkan Presiden The Fed wilayah Chicago Charles Evans yang mengatakan suku bunga baru akan dinaikkan pada akhir 2023. Ia melihat, inflasi yang tinggi saat ini hanya bersifat sementara, dan baru akan cukup tinggi dan stabil guna menjadi alasan untuk menaikkan suku bunga pada akhir 2023.

"Saya memasukkan proyeksi di waktu yang seharusnya.... Menaikkan suku bunga di 2023," kata Evans merujuk pada Fed dot plot yang dirilis pada Kamis lalu, sebagaimana dikutip Reuters Senin (27/9).

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular