IHSG Gagal Bertahan di Zona Hijau pada Penutupan Sesi 1
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) gagal menguat pada penutupan perdagangan sesi pertama Jumat (17/9/2021), mengikuti tren koreksi di bursa global setelah inflasi di Amerika Serikat (AS) diyakini bakal terus naik.
Menurut data PT Bursa Efek Indonesia, IHSG berakhir di level 6.098,883 atau turun 11,1 poin (-0,18%) pada penutupan siang. Dibuka melemah 0,1% ke 6.098,878, indeks acuan utama bursa ini langsung menyentuh level terendah hariannya pada 6.086,084 pada pukul 09:10 WIB.
Meski sempat kembali ke zona hijau dan menyentuh level tertinggi ada 6.126,498 pukul 10:00 WIB, IHSG kembali terkena aksi jual dan terbenam kembali ke zona merah pada pukul 10:30 WIB.
Mayoritas saham terkoreksi, yakni sebanyak 287 unit, sedangkan 182 lain masih menguat, dan 177 sisanya flat. Nilai perdagangan masih tipis, sebesar Rp 6,7 triliun yang melibatkan 17 miliaran saham yang berpindah saham sebanyak 911.000-an kali. Investor asing mencetak penjualan bersih (net sell) senilai Rp 111,8 miliar.
Saham yang mereka jual terutama adalah saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) dengan nilai penjualan masing-masing sebesar Rp 97,1 miliar dan Rp 34,15 miliar. Keduanya turun sebesar 1,65% dan 4% ke Rp 3.580 dan Rp 1.085/unit.
Sebaliknya, aksi beli menimpa saham PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan nilai pembelian bersih masing-masing Rp 23,3 miliar dan Rp 18,3 miliar. Kedua saham tersebut melemah masing-masing sebesar 0,9% dan 0,08% menjadi Rp 3.410 dan Rp 32.475/saham.
Dari sisi nilai transaksi, BBRI masih meraja dengan total nilai perdagangan Rp 672,1 miliar diikuti PT Bank Jago Tbk (ARTO) senilai Rp 393,7 miliar dan PT Metro Healthcare Indonesia Tbk (CARE) senilai Rp 190,7 miliar.
Koreksi terjadi di tengah pergerakan variatif bursa Asia, setelah bursa saham Amerika Serikat (AS) pagi tadi ditutup variatif. Investor global memperkirakan inflasi tinggi masih akan terjadi mengikuti kenaikan aktivitas belanja ritel warga AS.
Pemerintah AS merilis penjualan ritel per Agustus yang naik 0,7% (bulanan). Angka itu membalik estimasi ekonom dalam konsensus Dow Jones yang memprediksi pelemahan 0,8% (bulanan). Artinya, terjadi kenaikan belanja di sana sehingga inflasi berpeluang menguat dan membuat bank sentral AS kian percaya diri melakukan kebijakan tapering lebih cepat.
Namun, pasar masih menilai peluang percepatan tapering (pengurangan aktivitas pembelian surat utang di pasar sekunder) sebenarnya masih tergerogoti oleh data pengangguran yang masih buruk. Klaim tunjangan pengangguran AS pekan lalu tercatat menyentuh 332.000, atau lebih buruk dari prediksi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 320.000.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)