
Meski Tak Mulus, Rupiah Sukses Menguat 2 Hari Beruntun

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali mencetak penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (15/9), meski tidak dengan mulus. Sama seperti kemarin, rupiah harus menghadapi tekanan dolar AS sejak awal perdagangan.
Melansir data Refinitiv, setelah membuka perdagangan dengan melemah tipis rupiah sebenarnya sempat menguat 0,04% ke Rp 14.240/US$. Tetapi setelahnya, rupiah kembali melemah hingga 0,14% ke Rp 14.265/US$.
Mata Uang Garuda perlahan bangkit, dan stagnan di Rp 14.245/US$ hingga beberapa saat sebelum perdagangan berakhir. Di penutupan, rupiah berada di Rp 14.240/US$, menguat 0,04% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Kabar baik datang dari dalam negeri, neraca dagang kembali mencatat surplus hingga 15 bulan beruntun. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan realisasi impor periode Agustus 2021. Meski tumbuh tinggi, tetapi nominal impor masih lebih rendah ketimbang ekspor sehingga Indonesia menikmati surplus neraca perdagangan.
Pada Rabu (15/9/2021), BPS mencatat nilai impor Indonesia pada Agustus 2021 adalah US$ 16,68 miliar. Naik 10,35% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm) dan 55,26% dari periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy).
Sebagai perbandingan, konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan impor tumbuh 44,29% yoy pada Agustus 2021. Sementara konsensus Reuters menghasilkan proyeksi 45,1% yoy.
Sementara nilai ekspor Indonesia adalah US$ 21,42 miliar. Dengan demikian, Indonesia membukukan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 4,74 miliar.
Neraca perdagangan Indonesia selalu surplus dalam 15 bulan terakhir. Kali terakhir terjadi defisit neraca perdagangan adalah pada April 2020.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Inflasi Melambat, Tapi Dolar AS Masih Kuat
Data inflasi Amerika Serikat (AS) yang melambat membuat dolar AS kemarin goyah. Tetapi hanya sesaat saja, hari ini indeks dolar AS kembali bangkit.
Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan inflasi inti pada Agustus 2021 adalah 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Melambat dibandingkan Juli 2021 yang sebesar 0,3% dan menjadi yang terendah dalam enam bulan terakhir. Selain itu, inflasi inti tersebut lebih rendah dari hasil survei Reuters terhadap para ekonom sebesar 0,3%.
Dibandingkan dengan Agustus 2020 (year-on-year/yoy), laju inflasi inti adalah 4%. Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 4,3% dan menjadi yang terendah dalam tiga bulan terakhir, dan lebih rendah dari ekspektasi 4,2%.
![]() |
Pasca rilis tersebut, indeks dolar AS sempat merosot 0,38%, sebelum memangkas pelemahan dan mencatat pelemahan tipis 0,06%. Sementara pada hari ini, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini masih stabil.
Pergerakan tersebut menunjukkan data inflasi yang lebih rendah dari prediksi hanya berdampak sesaat ke dolar AS.
Inflasi merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) dalam menentukan kapan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) akan dilakukan. Namun, inflasi yang dirilis tersebut berdasarkan consumer price index (CPI), sementara inflasi yang menjadi preferensi The Fed adalah berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang dirilis akhir bulan ini.
Data inflasi CPI biasanya dijadikan gambaran data PCE. Meski demikian, melambatnya inflasi PCE pun sepertinya tidak akan berdampak signifikan ke proyeksi tapering, selama pelambatannya tidak signifikan.
Sebab, ketua The Fed, Jerome Powell sebelumnya sudah berulang kali menyatakan tingginya inflasi saat ini hanya bersifat sementara. Artinya pelambatan inflasi sudah diprediksi jauh-jauh hari oleh The Fed.
Di sisi lain, Powell sebelumnya juga menyatakan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset akan tepat dilakukan di tahun ini. Tetapi, dolar AS tidak serta merta perkasa, seperti tahun 2013.
Saat itu, yield obligasi AS (Treasury) melonjak, aliran modal keluar dari negara emerging market dan kembali ke negeri Paman Saham, dolar AS menjadi sangat perkasa, dan pasar finansial global bergejolak, yang disebut taper tantrum.
Dolar AS lebih kalem saat ini, sebab komunikasi The Fed saat ini ke pasar lebih baik ketimbang tahun 2013. Selain itu, Powell juga menyatakan ketika tapering berakhir, bukan berarti suku bunga akan dinaikkan setelahnya.
"Waktu mengurangi pembelian aset tidak berarti menjadi pertanda waktu kenaikan suku bunga. Keduanya merupakan hal yang berbesar secara substansial," kata Powell dalam pertemuan Jackson Hole.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
