Bye Bye Taper Tantrum! Rupiah Melesat ke Bawah Rp 14.400/US$

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 August 2021 10:02
Ilustrasi Dollar
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah perkasa di awal pekan ini melawan dolar Amerika Serikat (AS). Sebabnya, ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell, yang untuk sementara sukses meredam terjadinya taper tantrum.

Melansir data Refintiv, begitu bel perdagangan berbunyi, rupiah langsung menguat 0,17% ke Rp 14.390/US$. Apresiasi rupiah kemudian bertambah hingga 0,35% ke Rp 14,365/US$ pada pukul 9:97 WIB.

Sebelumnya, rupiah kesulitan menguat melawan dolar AS akibat kemungkinan terjadinya tapering di tahun ini.

Tapering pernah terjadi di tahun 2013 dan hasilnya tidak baik bagi pasar finansial global. Saat itu terjadi, aliran modal keluar dari negara emerging market dan kembali ke Amerika Serikat. Pasar finansial global menjadi bergejolak, yang disebut taper tantrum. Rupiah saat itu terus mengalami tekanan hingga di tahun 2015.

Maka wajar pelaku pasar berhati-hari dan membuat rupiah sulit menguat. Tetapi, dalam simposium Jackson Hole Jumat pekan lalu, Powell sukses meredam terjadinya taper tantrum.

Powell sepakat dengan mayoritas koleganya jika tapering "akan tepat dilakukan di tahun ini. Meski demikian, pasar saham AS (Wall Street) justru menguat merespon penyataan tersebut, yang berarti direspon positif oleh pelaku pasar dan mengalirkan investasinya ke aset berisiko.

Artinya, langkah The Fed untuk terus mengkomunikasikan tapering dengan pasar efektif meredam gejolak yang mungkin terjadi seperti di tahun 2013, atau yang dikenal dengan istilah taper tantrum.

Selain itu, The Fed juga menyatakan saat tapering selesai artinya sudah tidak ada lagi QE, hal tersebut bukan berarti langkah The Fed selanjutnya akan menaikkan suku bunga.

"Waktu mengurangi pembelian aset tidak berarti menjadi pertanda waktu kenaikan suku bunga. Keduanya merupakan hal yang berbesar secara substansial," kata Powell dalam pertemuan Jackson Hole.

Artinya, suku bunga kemungkinan masih akan ditahan di rekor terendah 0,25% dalam beberapa waktu ke depan setelah QE selesai. Hal tersebut lagi-lagi memberikan sentimen positif ke aset-aset berisiko, tetapi tidak untuk dolar AS.

Pada perdagangan Jumat lalu, indeks dolar AS merosot 0,4%, dan selama sepekan anjlok 0,87% yang tentunya membuka peluang rupiah menguat di awal pekan ini.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kondisi Saat Ini Lebih Baik Dari 2013

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, juga menyatakan komunikasi The Fed kali ini jelas sehingga bisa menghindari terjadinya taper tantrum.

"The Fed komunikasinya jelas, kerangka kerjanya kayak apa, inflasi dan pengangguran dan rencana tapering-nya. Tentu saja dengan demikian, pasar semakin memahami pola kerja, kerangka kerja Fed," papar Perry usai Rapat Dewan Gubernur Kamis (19/8/2021).

"Bahwa kebijakan tapering fed dampaknya tidak akan sebesar taper tantrum pada 2013. Fed tapering yang dilakukan dampaknya ke global dan emerging market khususnya Indonesia Insya Allah tidak sebesar seperti taper tantrum 2013," jelasnya.

Sementara itu, tapering yang akan dilakukan The Fed diprediksi membuat rupiah melemah ke Rp 15.000/US$, tetapi sekali lagi tidak akan separah 2013. Hal ini diungkapkan Chatib Basri, Ekonom Senior yang juga merupakan Mantan Menteri Keuangan saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Jumat (27/8/2021)

"Perkiraan saya karena tapering kalau toh rupiah melemah, itu tidak akan setajam 2013, 2015 atau 2018. Tapi kalau ada kasus lain seperti Covid-19 yang melonjak mungkin bisa di atas 15.000," jelasnya.

Tahun 2013 menjadi situasi yang suram bagi perekonomian Indonesia. Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak The Fed mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

Dibandingkan 2013, kondisi sekarang tentu berbeda. Perbedaan paling mencolok adalah porsi asing di pasar obligasi dalam negeri. Pada 2013 lalu porsi asing mencapai 40%, sehingga ketika ada pergerakan keluar masuk mempengaruhi nilai tukar hingga suku bunga acuan. Sementara sekarang porsi asing hanya sekitar 23%.

"Satu hal, outflow tahun lalu sudah besar, itu belum sepenuhnya capitalnya balik. Itu kelihatan dulu foreign holder di bond turun 32% ke 23%. Jadi ini berita bagus, kalau porsi asing makin kecil, efek ke rupiah juga terbatas," imbuhnya.

BI juga memiliki cadangan devisa yang cukup untuk melakukan stabilisasi, yaitu US$ 137,3 miliar. Dari sisi kebijakan BI sudah menyiapkan berbagai amunisi yang dikenal dengan triple intervention yang meliputi Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Menurut Chatib, pelaku pasar juga telah membaca arah pelemahan tersebut. Belajar dari 2013, ketika ada isu tapering, maka opsi yang bisa dilakukan adalah dengan meminimalkan defisit fiskal dan menaikkan suku bunga acuan.

Sekarang, kedua opsi tersebut tidak mungkin dilakukan karena mampu menahan pemulihan ekonomi nasional. "Maka opsi yang bisa dilakukan itu hanya membiarkan rupiah pelan-pelan terdepresiasi," terang Chatib.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular