Sarasehan 100 Ekonom
Beban Utang RI Menumpuk, Gegara Bunganya Diobral?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah kini terjebak dengan beban pembayaran bunga utang yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh masih tingginya imbal hasil atau yield dari penerbitan surat berharga negara (SBN) pemerintah.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), Hendri Saparini dalam acara Sarasehan 100 Ekonom, Kamis (26/8/2021)
"Tidak masalah utang terhadap PDB masih aman, tapi negara seperti Malaysia utang terhadap PDB-nya naik, tetapi yang terjadi yield yang mereka tawarkan jauh lebih rendah dari kita, kita 6% mereka 3-3,5%, oleh karena itu desain kesinambungan fiskal kita sangat penting," jelasnya.
Diketahui yield SBN pemerintah bertenor 10 tahun per hari ini sebesar 6,36%. Jauh lebih tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya. Sementara risiko yang menjadi acuan, seperti inflasi dan nilai tukar rupiah cenderung stabil.
Maka dari itu muncul lonjakan pembayaran bunga utang di tahun-tahun berikutnya. Tahun depan, bunga utang yang harus dibayarkan mencapai Rp 405 triliun atau sekitar 15% dari total belanja APBN.
Menurut Hendri, persoalan ini menggambarkan kurangnya penciptaan fiskal yang berkesinambungan. Pemerintah juga akan terjebak, ketika ingin menarik utang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan belanja, namun beban yang ditanggung nantinya sangat besar.
"Misalnya, ada pandemi, perlu countercyclical, kita harus melakukan itu, semua negara melakukan itu, meningkatkan belanja iya, tapi harus tetap menjaga efisiensi dan juga prudent, kehati-hatian kita," terang Hendri.
"Awal-awal, banyak mengusulkan stimulus ditambah, kenapa rasionya hanya 2-3% PDB, sementara negara lain 10% PDB, lupa kita bawa permasalahan di penerimaan kita, yang dilakukan oleh banyak negara bukan stimulus dengan menggelontorkan dana," pungkasnya.
[Gambas:Video CNBC]
Jurus Sri Mulyani Tarik Utang Saat Inflasi AS Meroket
(mij/mij)