Penjelasan Sri Mulyani Kenapa Masih Butuh 'Uang' BI di 2022
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan dihadapan para investor mengenai Surat Keputusan Bersama (SKB) Jilid III dengan Bank Indonesia (BI).
Lewat perjanjian berbagi beban atau burden sharing melalui SKB Jilid III ini, Sri Mulyani mengatakan bahwa BI akan membeli obligasi pemerintah yang diterbitkan, baik itu melalui primary market, private placement, atau yang diterbitkan pemerintah pada pasar keuangan.
"Besaran yang kami bicarakan dengan BI lewat SKB Ke-3 ini sesuai dengan kapasitas BI dan prospek neraca keuangan BI, pada 2021 anggaran sebesar Rp 215 triliun dan Rp 244 triliun pada 2022," jelas Sri Mulyani Panggilan Konferensi dengan Investor yang diselenggarakan oleh Kemenkeu dan BI pada Senin (23/8/2021) malam.
"BI akan menyumbangkan seluruh biaya vaksinasi dan penanganan kesehatan dengan limit maksimum Rp 58 triliun pada 2021," kata Sri Mulyani melanjutkan.
Kemudian, pada 2022 dengan pembelian SBN oleh BI hingga Rp 244 triliun, BI akan berkontribusi Rp 40 triliun untuk pembiayaan vaksinasi dan penanganan kesehatan. Yang mana secara bertahap, bunganya akan ditanggung oleh pemerintah dan BI dengan tingkat bunga reverse repo BI tenor 3 bulan.
Burden sharing antara Kemenkeu dan BI ini, kata Sri Mulyani memungkinkan pemerintah dan BI untuk melaksanakan kebijakan fiskal dan moneter secara hati-hati, akuntabel, transparan.
"Serta tetap menjaga dan menghormati independensi masing-masing otoritas," imbuhnya.
Selain itu kerjasama pemerintah dan bank sentral ini, diklaim Sri Mulyani mencerminkan prinsip menjaga kemampuan ruang fiskal dalam jangka menengah, serta menjaga kualitas belanja yang produktif.
Dengan demikian, pemerintah optimistis bahwa defisit APBN di bawah 3% akan bisa terealisasi pada 2023 sesuai dengan amanat Undang-Undang No.2 Tahun 2020. Walaupun Sri Mulyani menyadari, target defisit APBN di bawah 3% tersebut sangat ambisius.
"Kami tahu ini akan menjadi sangat ambisius, tapi kami akan terus memastikan bahwa kami akan memaksimalkan dengan upaya terbaik kami untuk dapat menurunkan angka tersebut seperti amanat UU No.2 Tahun 2020, dimana defisit APBN 3% pada 2023," jelas Sri Mulyani.
Pada kesempatan yang sama, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan alasan keikutsertaannya BI untuk kembali membiayai APBN 2022 dalam penanganan covid-19.
"Hal ini bertujuan agar kita fokus untuk menangani kesehatan dan kemanusiaan, sehingga dalam menghadapi penyebaran varian delta bisa dapat efektif juga dalam mendukung pemulihan ekonomi," jelas Perry.
"Hal ini lah yang melatarbelakangi mengapa kita sepakat melakukan SKB ke-3 dengan menitikberatkan pada biaya kesehatan dan beberapa tambahan jaring pengaman sosial," kata Perry melanjutkan.
Melalui SKB Jilid III, dimana BI setuju untuk membeli SBN pemerintah tahun ini hingga Rp 215 triliun dan tahun depan Rp 244 triliun, harapannya bisa lebih efektif untuk mengurangi beban APBN.
Kendati demikian, Perry mengakui bahwa BI akan kesulitan untuk membeli SBN jika pemerintah menerbitkan SBN sesuai dengan harga pasar yang berlaku.
"Saya harus mengatakan, ini sangat sulit untuk dipahami apakah Sri Mulyani perlu menerbitkan SBN dengan harga pasar. Saya tidak bisa membayangkan untuk membeli vaksin dan menambah anggaran kesehatan melalui penerbitan SBN dengan nilai yield SBN saat ini sekitar 6,3%," ujarnya.
Kendati demikian, karena tetap memperhatikan neraca kas anggaran BI, Perry menyebut SKB Jilid III ini tidak akan mengurangi otoritas dalam mengambil kebijakan moneter.
"Ini lah mengapa bunga private placement dari SBN kami pada tingkat bunga reverse repo rate 3 bulan. Itu sebabnya kita dapat menggunakan instrumen ini," jelas Perry.
"Ada tiga poin yang ingin saya sampaikan. Ini adalah seruan negara untuk kesehatan dan kemanusiaan. BI berdiri dan memberi untuk memastikan kebijakan moneter dan fiskal diputuskan secara hati-hati. Serta mengatasi masalah delta varian dan menavigasi pemulihan ekonomi," ujar Perry lagi.
Adapun berdasarkan dokumen Kementerian Keuangan yang didapatkan CNBC Indonesia pada Senin (23/8/2021), dijelaskan bahwa SKB Jilid III terbagi atas dua kluster.
Klaster pertama, BI akan berkontribusi atas seluruh biaya bunga untuk pembiayaan vaksinasi dan penanganan kesehatan dengan maksimum limit Rp 58 triliun pada 2021.
Selanjutnya di 2022, BI juga akan kembali menanggung Rp 40 triliun. Dengan catatan sesuai kemampuan neraca BI. Tingkat suku bunga reverse repo BI tenor 3 bulan akan ditanggung oleh Bank Indonesia (BI).
Sementara untuk klaster B adalah penanganan kesehatan selain klaster A dan pendanaan untuk berbagai program perlindungan bagi masyarakat dan UMKM. BI akan berkontribusi sebesar Rp 157 triliun pada 2021 dan 2022 sebesar Rp 184 triliun. Tingkat bunganya sama dengan klaster A, hanya saja ditanggung oleh pemerintah.
Dokumen tersebut juga tertera penjelasan bahwa penerbitan SBN dilaksanakan melalui private placement, mengurangi target lelang SBN dan dapat mengendalikan biaya utang.
(mij/mij)