
Lesu Sepekan, Bagaimana Rupiah ke Depan? Simak Penjelasan BI

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah dibuat tak berdaya dalam sepekan terakhir. Isu tapering dari Amerika Serikat (AS) membuat rupiah melemah terhadap dolar AS.
Data Refinitiv menunjukkan rupiah melemah 0,45% di hadapan dolar AS secara point-to-point. Pada perdagangan akhir pekan, rupiah ditutup di Rp 14.450/US$, terlemah sejak 30 Juli 2021.
"Mostly pengaruh eksternal khususnya semakin besarnya peluang Tappering dilaksanakan awal tahun depan," kata
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Hariyadi Ramelan kepada CNBC Indonesia, Senin (23/8/2021)
"Dan masih tingginya dampak Covids Varian Delta di negara-negara maju yang dikhawatirkan juga akan menghambat proses pemulihan ekonomi regional," jelasnya.
Kedua isu tersebut memberikan sentimen negatif kepada pasar. Sehingga investor banyak membawa kabur dana dari Indonesia. Akan tetapi, Hariyadi meyakini hal ini hanya bersifat sementara.
"Sehingga market risk off untuk saat ini (Flight to quality) dan ini bersifat temporer," ujarnya.
Kemungkinan terjadinya tapering makin dekat. Notula rapat (minutes of meeting) bank sentral AS The Federal Reserve/The Fed yang melatarbelakangi keperkasaan mata uang Negeri Adikuasa.
Dalam rapat edisi Juli 2021, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega semakin berani, tidak malu-malu lagi bicara soal pengetanan kebijakan alias tapering off.
BI mencermati kemungkinan tersebut dengan sangat seksama. Dampak kebijakan diberlakukan memang akan terasa ke Indonesia. Hanya saja dampaknya tidak akan sebesar 2013 lalu.
Acuannya, kata Hariyadi adalah komunikasi The Fed yang lebih jelas dibaca oleh pasar. Kemudian fundamental ekonomi Indonesia yang lebih baik dan kesiapan amunisi dalam menjaga stabilitas rupiah.
Indonesia juga memiliki cadangan devisa Indonesia US$ 137,3 miliar setara dengan pembiayaan 8,9 bulan impor atau 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Instrumen stabilisasi rupiah juga siap melalui triple intervention yang meliputi Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Bagaimana dengan pergerakan rupiah ke depan?
"Kita selalu ada di pasar jaga keseimbangan permintaan dan penawaran di pasar valas usd/idr. Be optimist," tegas Hariyadi.
Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menjelaskan, fundamental ekonomi Indonesia juga lebih baik dibandingkan 2013. Salah satu indikatornya adalah defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang tahun ini diperkirakan BI 0,6-1.4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Obligasi Indonesia memang sedang menarik. Mayoritas yield Surat Berharga Negara (SBN) mengalami penurunan. Hanya yield SBN tenor 1 tahun dan 25 tahun yang mengalami kenaikan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan ini hingga 16 Agustus lalu, terjadi capital inflow sebesar Rp 7,6 triliun.
Maka dari itu, ketika isu ini muncul pasar keuangan dalam negeri cenderung stabil. Berbeda dengan pasar saham dunia yang rata-rata turun.
"Namun di Indonesia memang obligasinya cenderung stabil dan asing masih melakukan pembelian bersih di pasar saham, sehingga praktis rupiah tidak melemah terlalu dalam," ujarnya kepada CNBC Indonesia.
Akan tetapi bukan berarti ini isu yang patut diabaikan begitu saja. Tapering baru direncanakan, belum terealisasi. BI dan juga pemerintah patut mempertimbangkan berbagai risiko lain, misalnya pembiayaan APBN tahun depan.
"Ingat walaupun defisit neraca transaksi berjalan kita lebih rendah, tapi defisit fiskal kita yang 4-6% masih relatif besar secara historis. Jadi implementasi dari konsolidasi fiskal menjadi penting," terang Satria.
"Model kami menunjukkan, keseimbangan pembiayaan (atau 'external financing') Indonesia adalah salah satu kelemahan fundamental makroekonominya, terutama jika dibandingkan di regional dan negara investment grade lain."
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masih Tertekan, Rupiah Bisa Sentuh Rp 14.800/USD di Q2-2021