
Kasus Covid Melonjak 1.000%, The Fed Yakin Tapering Tahun Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar buruk bagi pasar finansial terus berdatangan dari Amerika Serikat (AS), setelah kasus penyakit akibat virus corona khususnya varian delta yang melonjak, kini datang lagi isu tapering.
Bukan sekadar isu, tetapi bank sentral AS (The Fed) "mengkonfirmasi" tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) berpeluang dilakukan di tahun ini.
Risalah rapat kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) yang dirilis tadi malam menunjukkan peluang tapering di tahun ini, sebab inflasi dikatakan sudah mencapai target dan pemulihan pasar tenaga kerja juga hampir sesuai ekspektasi.
"Melihat ke depan, sebagian besar partisipan (Federal Open Market Committee/FOMC) mencatat bahwa selama pemulihan ekonomi secara luas sesuai dengan ekspektasi mereka, maka akan tepat untuk melakukan pengurangan nilai pembelian aset di tahun ini," tulis risalah tersebut.
Meski demikian, risalah tersebut juga menunjukkan 'beberapa' anggota FOMC memilih untuk melakukan tapering di awal tahun depan.
Tidak ada detail yang menyebutkan 'beberapa' itu artinya beberapa orang, tetapi jika melihat pernyataan lainnya 'sebagian besar partisipan' bisa diintepretasikan mayoritas anggota FOMC memilih melakukan tapering di tahun ini.
Selain itu, risalah tersebut menunjukkan sikap optimistis The Fed terhadap laju perekonomian. Tetapi juga melihat penyebaran virus corona varian delta sebagai ancaman. The Fed menyebut "ketidakpastian cukup tinggi" akibat lonjakan kasus penyakit akibat virus corona khususnya varian delta.
Hal tersebut membuat beberapa anggota FOMC melihat risiko inflasi kembali melandai, terutama jika perekonomian kembali terpukul.
Untuk diketahui sejak akhir tahun lalu, The pendekatannya terhadap inflasi. Sebelumnya, The Fed menetapkan target inflasi 2%, ketika inflasi mendekati target The Fed biasanya akan mengetatkan moneter. Kini bank sentral paling powerful di dunia ini menetapkan target inflasi rata-rata 2%. Yang digarisbawahi adalah kata "rata-rata".
"Dengan perubahan tersebut, kita tidak akan mengetatkan kebijakan moneter meski pasar tenaga kerja sudah menguat," kata Powell.
Artinya, meski inflasi nanti mencapai 2%, The Fed tidak akan langsung merubah kebijakannya, tetapi membiarkannya lebih tinggi dari 2% dalam beberapa waktu ke depan. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai rata-rata inflasi 2%, sebab sebelumnya inflasi jauh di bawah target tersebut.
![]() |
Inflasi berdasarkan Personal Consumption Expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed di bulan Juni dilaporkan melesat 3,5% (year-on-year/YoY), lebih tinggi dari bulan sebelumnya 3,4% YoY, tetapi di bawah hasil polling Reuters sebesar 3,7%.
Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun Juli 1991.
Sementara itu dari pasar tenaga kerja, Departemen Tenaga Kerja AS di awal bulan ini melaporkan sepanjang bulan Juli perekonomian AS mampu menyerap tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) sebanyak 943.000 orang, lebih tinggi dari hasil polling Reuters 880.000 orang.
Sementara tingkat pengangguran juga turun menjadi 5,4% dari bulan Juni 5,9%, dan lebih tajam dari prediksi 5,7%. Selain itu, rata-rata upah per jam juga mencatat pertumbuhan 0,4% dari bulan sebelumnya.
Data tenaga kerja bulan Juli kini menjadi krusial untuk menentukan seberapa besar peluang tapering di tahun ini.
Dengan kasus Covid-19 yang sedang terus menanjak, maka masih menjadi pertanyaan apakah pemulihan di pasar tenaga kerja masih terus berlanjut, dan menguatkan sikap mayoritas anggota FOMC untuk melakukan tapering di tahun ini, atau justru malah memburuk, sehingga tapering akan diundur ke tahun depan.
The Fed menetapkan target pasar tenaga kerja full employment, dan saat ini dikatakan belum mencapai "kemajuan substansial lebih lanjut" untuk menaikkan suku bunga.
Tetapi The Fed menggarisbawahi tapering dan suku bunga tidak ada kaitannya. Artinya meski The Fed melakukan tapering hingga menghentikan QE, bukan berarti suku bunga akan langsung dinaikkan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kasus Covid-19 di AS Melonjak 1.000%
Lonjakan kasus di AS dikhawatirkan akan membuat perekonomian terbesar di dunia tersebut melambat, dan akhirnya merembet ke negara-negara lain. Gencarnya vaksinasi yang dilakukan Amerika Serikat menumbuhkan harapan pertumbuhan ekonomi akan tinggi di tahun ini.
Tetapi, nyatanya meski jadi salah satu negara terdepan dalam vaksinasi, AS masih juga dilanda lonjakan kasus corona varian delta.
Hingga saat ini, lebih dari 50% warga Amerika Serikat sudah mendapat vaksinasi penuh, dan 9% baru mendapat suntikan pertama, berdasarkan Our World in Data.
Sementara itu, rata-rata penambahan kasus positif dalam 7 hari hingga Rabu (18/8/2021) di AS sebanyak 139.006 kasus dari total penduduk. Rata-rata tersebut menjadi yang tertinggi sejak 2 Februari lalu.
![]() |
Sedangkan jika dilihat dari pertengahan Juni lalu sekitar 12.000 kasus, artinya mengalami kenaikan lebih dari 1.000%.
"Kita berada di pertengahan musim panas, orang-orang mulai berkumpul, mereka dalam kelompok yang besar. Vaksin telah membuat mereka merasa aman, dan mereka lupa dengan protokol kesehatan," kata dr. Perkin Halkitis, dekan di Rutgers School of Public Health, dalam wawancara bersama CNBC International.
Selain itu, tingkat kematian juga kembali meningkat kini lebih dari 1.000 dilaporkan meninggal per hari. Kali terakhir Amerika Serikat mengalami kematian 1.000 orang per hari yakni pada bulan Maret lalu.
Meski sedang dilanda peningkatan kasus Covid-19, tetapi The Fed masih belum tahu apakah akan berdampak pada perekonomian. Hal tersebut diungapkan oleh Ketua The Fed, Jerome Powell, yang berbicara Selasa malam.
"Masih belum jelas apakah corona delta akan memberikan dampak yang besar terhadap perekonomian, kita akan melihat itu nanti," kata Powell.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Powell Beri Sinyal Suku Bunga Naik di 2023, Pasar Tak Percaya
