
Flight to Quality Makin Nyata, Apa Kabar Pasar Keuangan RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Bank Indonesia (BI) pada pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Kamis (22/7/2021) lalu, mengungkapkan jika pelemahan rupiah terjadi akibat flight to quality alias mencari aset aset yang baik.
Saat itu, dari akhir Juni hingga 21 Juli, rupiah mengalami pelemahan 0,29%.
"Secara rata-rata rupiah mengalami pelemahan 0,29% secara point to point dan 1,14% secara rata-rata dibandingkan posisi akhir Juni 2021," kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi persnya, Kamis (22/7/2021).
"Aliran modal keluar dari negara berkembang, didorong perilaku flight to quality di tengah pasokan valas domestik yang masih memadai," kata Perry.
Laporan dari Lipper mengkonfirmasi perilaku flight to quality tersebut, penyebabnya yakni penyebaran terbaru penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Penyebaran terbaru virus corona memicu kecemasan akan terjadinya pelambatan ekonomi global di kuartal III-2021. Di kuartal sebelumnya, pertumbuhan ekonomi bisa dikatakan mengecewakan dari dua raksasa perekonomian dunia, Amerika Serikat (AS) dan China.
Departemen Perdagangan AS pada akhir Juli lalu melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh 6,5% di kuartal II, sedikit lebih tinggi ketimbang kuartal sebelumnya 6,3%, tetapi jauh di bawah estimasi Dow Jones sebesar 8,4%.
Sementara itu China pada pertengahan Juli lalu melaporkan PDB di kuartal II-2021 tumbuh 7,9%, sedikit lebih rendah dari prediksi para ekonomi yang disurvei Reuters sebesar 8,1%.
Biro Statistik China mengatakan pertumbuhan ekonomi China masih kuat dan berkelanjutan, tetapi masih ada risiko dari penyebaran virus corona secara global serta pemulihan ekonomi yang "belum berimbang" di dalam negeri.
Alhasil, pelaku pasar lebih memilih bermain aman dengan mengalirkan modalnya ke reksa dana pasar uang dan obligasi.
Data dari Lipper yang dilansir Reuters menunjukkan dalam sepekan yang berakhir 4 Agustus, reksa dana pasar uang global menarik aliran dana sebesar US$ 36,68 miliar, menjadi yang terbesar dalam 10 pekan terakhir.
![]() |
Kemudian, reksa dana obligasi juga mendapat inflow sebesar US$ 14,6 miliar, naik dua kali lipat dibandingkan pekan sebelumnya.
Reksa dana saham global juga mendapat inflow sebesar US$ 9,04 miliar, ditopang optimisme peningkatan laba perusahaan di AS pada kuartal II-2021. Tetapi, inflow tersebut turun hingga 47% dibandingkan pekan sebelumnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Obligasi Indonesia Masih Menarik, Pasar Keuangan RI Aman?
Obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) memiliki yield yang relatif lebih tinggi ketimbang negara-negara lainnya sesama emerging market, apalagi dibandingkan dengan negara maju.
Yield SBN tenor 10 tahun misalnya, berada di kisaran 6,345% hari ini, sementara yield obligasi (Treasury) AS tenor yang sama berada di kisaran 1,3135%, kemudian yield obligasi (Bund) Jerman bahkan minus 0,465%.
Tingginya, yield tersebut tentunya akan menarik bagi pelaku pasar. Tetapi, memang obligasi negara maju tentunya dianggap lebih baik dan lebih aman.
Seperti disebutkan sebelumnya, data dari Lipper juga menunjukkan, capital inflow ke reksa dana obligasi global sebesar US$ 14,6 miliar, mengalami peningkatan dua kali lipat. Detail data tersebut menunjukkan aliran ke reksa dana obligasi Eropa sebesar US$ 7,4 miliar, dan ke reksa dana obligasi AS sebesar 6,7 miliar. Reksa dana obligasi Asia juga dikatakan mengalami inflow meski kecil.
Di saat yang sama, pasar obligasi Indonesia juga mengalami capital inflow, yang menjadi pertanda masih menarik bagi investor global.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan sejak Kamis (29/8/2021) hingga Kamis (5/8/2021) pekan lalu di pasar obligasi aliran modal asing tercatat masuk sekitar Rp 11,57 triliun.
Hal tersebut terlihat dari kepemilikan asing yang naik menjadi Rp 976,41 triliun, dari sebelumnya sebesar Rp 964,84 triliun.
Kemudian di pasar primer, penawaran yang masuk (incoming bids) dalam lelang Surat Utang Negara (SUN) yang dilakukan pemerintah pada 3 Agustus lalu sebesar Rp 107,8 triliun, lebih tinggi dari lelang sebelumnya Rp 95,6 triliun, sekaligus menjadi rekor tertinggi kedua sepanjang sejarah penerbitan SUN.
Dari incoming bids tersebut, yang dimenangkan oleh pemerintah sebesar Rp 34 triliun, lebih tinggi dari target indikatif Rp 33 triliun.
Selain itu, tingkat partisipasi investor asing juga meningkat di lelang kemarin, yakni sebesar 11,6% dari sebelumnya 7,6%. Tingginya minat terhadap obligasi Indonesia menjadi indikasi adanya aliran modal masuk ke dalam negeri.
Ketika aliran modal masuk ke pasar obligasi, nilai tukar rupiah juga berpeluang menguat atau setidaknya stabil.
Stabilitas rupiah penting bagi perekonomian Indonesia, sebab bisa menjaga inflasi agar tidak tinggi, serta daya beli masyarakat juga terjaga.
Selain itu stabilitas rupiah menjadi penting bagi investor global dalam mengalirkan modalnya ke pasar keuangan dalam negeri, termasuk ke pasar. Sebab ketika nilai tukar rupiah stabil, maka risiko kerugian kurs bisa ditekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tahun Ini, BI Sudah Borong Surat Utang Pemerintah Rp 123,13 T