Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar Baik datang lagi dari dalam negeri, Bank Indonesia melaporkan cadangan devisa (cadev) naik di bulan Juli, meski tidak terlalu besar.
Dengan demikian, cadev Indonesia mencatat kenakan dalam 2 bulan beruntun setelah merosot di bulan Mei lalu. Cadangan devisa Indonesia kini mendekati lagi rekor tertinggi yang dicetak pada April lalu.
BI melaporkan cadangan devisa per akhir Juli sebesar US$ 137,3 miliar atau setara dengan Rp 1.991 triliun (kurs Rp 14.500/US$), naik 0,15% dari bulan sebelumnya US$ 137,1 miliar atau penambahan sekitar US$ 200 juta atau Rp 2,9 triliun.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 8,9 bulan impor atau 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," sebut keterangan tertulis BI yang dirilis Jumat (6/8/2021).
 Foto: Datawrapper |
Dalam 2 bulan beruntun total cadev naik sebesar US$ 900 juta, sementara di bulan Mei jeblok US$ 2,4 miliar. Bulan sebelumnya cadev mencetak rekor tertinggi sepanjang masa US$ 138,8 miliar, kemudian jeblok hingga ke US$ 136,4 miliar yang merupakan posisi terendah di tahun ini.
Penurunan di bulan Mei juga menjadi yang terbesar sejak Maret tahun lalu, saat penyakit virus corona (Covid-19) dinyatakan sebagai pandemi.
Menurut BI, pembayaran utang pemerintah menjadi pemicu penurunan cadangan devisa di bulan Mei, sebaliknya kenaikan di bulan Juli disebabkan penerbitan obligasi berdenominasi dolar AS dan euro (global bond).
"Peningkatan posisi cadangan devisa pada Juli 2021 antara lain dipengaruhi oleh penerbitan global bond Pemerintah serta penerimaan pajak dan jasa. Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam mendorong pemulihan ekonomi," tulis BI.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Global Bond dan Komoditas Dorong Cadangan Devisa
Seperti disebutkan sebelumnya, penerbitan global bond menjadi penopang cadangan devisa. Pemerintah pada bulan Juli lalu sukses melakukan penjualan Surat Utang Negara (SUN) dalam dua mata uang, dolar AS dan euro dengan format SEC-Registered Shelf Take-Down.
Bahkan, berdasarkan rilis Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, spread terhadap obligasi AS (Treasury) mencapai rekor terendah sepanjang sejarah dalam di seluruh SUN tenor dolar AS.
Pemerintah menerbitkan SUN berdenominasi dolar AS tenor 10 tahun, 30 dan 50 tahun, dengan total sebesar US$ 1,65 miliar.
Adapun rinciannya seri RI0731 bertenor 10 tahun yang jatuh tempo pada 28 Juli 2031 memiliki tingkat kupon 2,15% dan yield atau imbal hasil 2,2% dengan total penerbitan US$600 juta.
Seri RI0351 dengan tenor 30 tahun, jatuh tempo pada 12 Maret 2051 dengan tingkat kupon dan yield masing-masing sebesar 3,05% dan 3,1%. Total penerbitan RI0351 adalah US$750 juta
Terakhir, seri RI0371 dengan tenor 50 tahun, dan jatuh tempo 12 Maret 2071 nilai penerbitan US$300 juta. Kupon dan imbal hasil yang ditawarkan pada seri ini sebesar 3,35%.
Kemudian untuk SUN denominasi euro, dengan seri RIEUR0729 memiliki tenor 8 tahun dan jatuh tempo pada 28 Juli 2029. Kupon serta imbal hasil sebesar 1% dan 1,068%, degan nilai yang diterbitkan 500 juta euro.
Selain penjualan global bond tersebut, BI juga menyebutkan pajak. Dua komoditas andalan ekspor Indonesia, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batu bara, memang menunjukkan kinerja impresif di tahun ini.
Harga CPO di bulan Juli kembali ke atas 4.000 ringgit (RM) per ton, bahkan sempat mendekati lagi rekor RM 4.525/ton yang dicapai pada 12 Mei lalu.
Meski harga sedang tinggi-tingginya, pemerintah merevisi peraturan terkait tarif pungutan ekspor CPO dan turunannya yang berlaku pada 2 Juli lalu.
Aturan mengenai tarif pungutan ekspor kelapa sawit diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2021 tentang Perubahan Kedua Atas PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS).
Peraturan tersebut lebih ringan dibandingkan dengan sebelumnya, dimana batas pengenaan tarif progresif berubah, dari yang semula pada harga CPO US$ 670 per ton menjadi US$ 750 per ton. Apabila harga CPO di bawah US$ 750 per ton, maka tarif pungutan ekspor tetap atau setara dengan tarif produk crude sebesar US$ 55 per ton.
Selanjutnya, setiap kenaikan harga CPO sebesar US$ 50 per ton, maka tarif pungutan ekspor naik sebesar US$ 20 per ton untuk produk crude dan US$ 16 per ton untuk produk turunan sampai harga CPO mencapai US$ 1.000. Kemudian, apabila harga CPO di atas US$ 1.000, maka tarif tetap sesuai tarif tertinggi masing-masing produk.
Sementara itu, harga batu bara juga terus menanjak. Harga batu bara acuan (HBA) bulan Juli berada di level tertinggi dalam 10 tahun terakhir, yakni US$ 113,35 per ton. Bahkan di bulan Agustus lebih tinggi lagi yakni US$ 130,99 per ton.
Artinya penerimaan dari ekspor komoditas masih bisa menopang cadangan devisa di bulan ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA