Jakarta, CNBC Indonesia - Satgas Waspada Investasi (SWI) menyebut saat ini masih sulit untuk memberantas keberadaan investasi ilegal sebelum memakan korban.
Hal ini disebabkan karena pelaporan adanya investasi ilegal ini baru dilakukan masyarakat setelah menderita kerugian, bukan ketika ditemukan tanda-tanda investasi ilegal mulai tercium.
Ketua SWI Tongam L. Tobing mengatakan saat ini satgas bersama dengan lembaga terkait telah melakukan pencegahan dan penanganan investasi ilegal. Untuk itu, diharapkan lembaga yang akan melakukan operasional turut aktif untuk melakukan perizinan sebelum melakukan usahanya.
"Kemudian dalam penanganan, kami melakukan penanganan sebelum ada korban sebenarnya, dengan menghentikan kegiatannya. Tetapi memang belakangan ini dan memang dalam investasi ilegal ini setelah ada korban baru kita tau," kata Tongam dalam webinar dalam Literasi Keuangan Indonesia Terdepan, Kamis (5/8/2021).
"Karena banyak hal yang menjadi latar belakang kenapa ada korban dulu baru kita tau investasi ilegal itu. Antara lain bahwa memang sebagian masyarakat kita kalau masih menikmati keuntungan masih diam, ga lapor ke siapa-siapa. Tapi kalau sudah dirugikan, ini baru di mana pemerintah ini, saya udah ditipu. Ini juga menjadi masalah," jelas dia.
Padahal, sebelum terjadi hal yang demikian diperlukan peran masyarakat untuk melaporkan jika ada hal yang aneh seperti mendapatkan keuntungan besar. Sebab, keuntungan besar itu biasanya didapatkan dari kerugian orang lain.
Untuk itu, kata Tongam, penting sekali untuk mencermati ciri-ciri investasi ilegal sehingga ketika publik menemukan hal yang sama akan langsung dapat melaporkan.
Beberapa ciri tersebut antara lain:
Pertama, menjanjikan keuntungan tidak wajar dalam waktu cepat. Biasanya investasi ini memberikan iming-iming imbal hasil tidak hanya berupa uang, namun juga barang mewah.
"Menjanjikan cepat kaya, cepat dapat uang, cepat dapat mobil, dapat rumah. Beberapa contoh yang sudah ditangani kepolisian, contohnya ada Koperasi Pandawa Depok yang memberikan 10% per bulan. Itu kerugiannya sangat besar," jelas dia.
Contoh lainnya adalah kampung kurma yang memberikan keuntungan hingga Rp 100 juta per tahun dengan pembelian kavling kurma.
Lalu juga ada investasi MeMiles yang memberikan janji sebuah mobil jika memberikan deposit Rp 7 juta. "Anehnya ada yang top up sampai Rp 70 juta supaya dapat 10 Fortuner, ini menjadi permasalahan sendiri."
Salah satu yang baru-baru ini ditutup oleh SWI adalah TikTok Cash yang bisa mendapatkan uang hanya dengan nonton video dengan membayarkan keanggotaan sebelumnya.
"Saat ini sangat ramai adalah robot trading, jargonnya itu tidur saja dibayar. Ini makanya banyak yang tidur jadinya karena dibayar. Ini juga ciri yang banyak kita lihat di investasi ilegal," imbuh dia.
Kedua, menjanjikan bonus dari perekrutan anggota baru 'member get member'. Padahal, dalam investasi semacam ini tidak ada barang yang diperdagangkan, tetapi keuntungan didapat dari perekrutan anggota.
Ketiga, kegiatan ini biasanya berkedok jual beli saham atau efek dengan sistem tersebut. Selain itu, oknum ini juga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat agar terlihat semakin meyakinkan.
Keempat, klaim tanpa risiko (risk free). Hal ini sangat berbading terbalik dengan kegiatan berinvestasi yang semakin tinggi risiko maka return yang diberikan juga tinggi.
"Jadi tidak akan ada investasi yang tanpa risiko," terangnya.
Kelima, legalitas tidak jelas. Biasanya lembaga seperti ini tidak jelas badan hukumnya dan tidak memiliki izin operasional. Bahkan, tak jarang mereka memiliki izin yang tidak sesuai dengan bisnis yang dijalankan.
"Dan juga kami sampaikan akhir-akhir ini banyak sekali pemalsuan izin dari OJK," tegas dia.