Ada Indikasi Varian Delta Plus di RI, Yield SBN Kembali Turun

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
29 July 2021 18:56
Chief Executive Hong Kong Carrie Lam berbicara pada upacara pembukaan Bond Connect di Hong Kong Exchanges di Hong Kong, China 3 Juli 2017. REUTERS / Bobby Yip
Foto: Chief Executive Hong Kong Carrie Lam berbicara pada upacara pembukaan Bond Connect di Hong Kong Exchanges di Hong Kong, China 3 Juli 2017. REUTERS / Bobby Yip

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali menguat pada perdagangan Kamis (29/7/2021), setelah adanya kabar kurang menggembirakan dari varian virus corona (Covid-19), Delta Plus yang terindikasi di Indonesia.

Mayoritas investor kembali memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan pelemahan imbal hasil (yield) di hampir seluruh SBN. Hanya SBN bertenor 25 tahun tahun yang yield-nya mengalami penguatan dan cenderung dilepas oleh investor.

Yield SBN bertenor 25 tahun kembali naik sebesar 2,1 basis poin (bp) ke level 7,351%. Sedangkan untuk SBN berjatuh tempo 20 tahun cenderung stagnan di level 7,093%.

Sementara itu, yield SBN bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan pemerintah kembali melemah sebesar 0,3 bp ke level 6,306%. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga pelemahan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Dari dalam negeri, Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Jambi Nirwan Satria dalam acara Tim Mitigasi IDI kemarin mengatakan bahwa Covid-19 varian Delta Plus telah tiba di Tanah Air.

Pada 18 Juli lalu, menurut dia, tiba-tiba kasus positif Covid-19 meningkat menjadi 442 kasus dalam sehari atau di atas rata-rata harian Jambi yang di bawah 100. Berdasarkan hasil pemeriksaan whole genome sequencing (WGC), ternyata ditemukan varian Delta Plus di wilayahnya. "Jujur kami kaget bahwa varian Delta Plus itu munculnya di Jambi," kata Nirwan.

Hal ini memicu kekhawatiran bahwa penyebaran Covid-19 bakal terus berlanjut. Pasalnya, setelah penambahan kasus harian sempat turun di bawah 30 ribu pada awal pekan, per Rabu (28/7/2021) kemarin kasus baru kembali naik hampir 50 ribu orang.

Kementerian Kesehatan mencatat ada 47.791 kasus baru, dengan begitu total kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 3,287 juta orang. Kini Indonesia dinyatakan menjadi episentrum Covid-19 di Asia dengan positivity rate sebesar 31,32%.

Jika kasus Covid-19 masih terus tinggi, tentunya ada risiko pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 yang lebih luas ditunda. Hal tersebut berisiko menekan perekonomian Indonesia lagi di kuartal III-2021. Radhika Rao, Ekonom DBS, bahkan memprediksi adanya kontraksi di kuartal ini.

Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang termasuk Indonesia akibat kenaikan kasus Covid-19. 

IMF dalam laporan terbarunya kini memproyeksikan pertumbuhan ekonomi ASEAN 5 (Indonesia, Malaysia, Philippines, Thailand, Vietnam) di tahun ini sebesar 4,3%, turun dibandingkan proyeksi yang diberikan bulan April lalu sebesar 4,9%.

"Prospek pertumbuhan ekonomi untuk India diturunkan akibat serangan Covid-19 gelombang kedua yang parah pada Maret hingga Mei, dan pemulihan diperkirakan akan berjalan lambat. Dinamika yang sama juga terjadi di ASEAN 5, dimana penyebaran virus corona terbaru menyebabkan kemerosotan aktivitas ekonomi," tulis IMF dalam laporannya yang dirilis Senin (28/7/2021).

Sementara itu dari Amerika Serikat (AS), imbal hasil surat utang pemerintah AS (Treasury) terpantau mengalami kenaikan tipis pada pra-pembukaan (pre-opening) pasar pada hari ini, setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga rendahnya.

Dilansir dari CNBC International, yield Treasury acuan bertenor 10 tahun naik 0,5 bp ke level 1,268% pada pukul 06:55 pagi waktu AS, dari sebelumnya pada penutupan Rabu (28/7/2021) kemarin di level 1,263%.

Ketua The Fed, Jerome Powell dan koleganya sepakat untuk tetap mempertahankan suku bunga acuannya di level rendah, yakni 0 - 0,25%. Namun, mereka tak memberikan sinyal jelas mengenai kapan tapering off atau pengurangan pembelian aset di pasar (quantitative easing/QE) dijalankan.

Powell menyatakan ekonomi AS membaik meski ada varian baru virus Covid-19. Namun, itu belum cukup untuk mencapai target inflasi dan lapangan kerja yang dipatok The Fed sehingga belum akan ada pengetatan moneter.

"Menurut saya kita masih beberapa langkah menuju kemajuan substansial lebih jauh mencapai target maksimum pembukaan lapangan kerja. Saya ingin melihat angka lapangan kerja yang lebih kuat," tutur dia.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular