
Rupiah Sukses Menguat, tapi Awas Dolar AS Simpan "Bom Waktu"

Jakarta, CNBC Indonesia - Melemah di awal perdagangan Senin (26/7/2021), rupiah akhirnya sukses membukukan penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) meski tipis. Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 yang diperpanjang tetapi ada pelonggaran di beberapa sektor menjadi sentimen positif. Tetapi, patut diwaspadai "meledaknya" dolar AS sebab posisi beli (long) sedang menumpuk.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% ke Rp 14.500/US$, setelahnya rupiah sempat menyentuh RP 14.505/US$ yang menjadi level terlemah hari ini.
Tidak lama, rupiah langsung menguat hingga 0,21% ke Rp 14.460/US$. Tetapi penguatan tersebut terpangkas, rupiah berada di Rp 14.480/US$ atau menguat 0,07% di akhir perdagangan.
Kemarin, pengumuman perpanjangan PPKM level 4 dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Saya memutuskan untuk melanjutkan penerapan PPKM level 4 dari tanggal 26 Juli sampai dengan 2 Agustus 2021," kata Jokowi dalam pernyataan resmi dari Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu (25/7/2021).
Meski demikian, pelonggaran dilakukan di beberapa sektor. Pasar rakyat yang menjual sembako diperbolehkan bukan normal, tetapi dengan protokol kesehatan yang ketat. Selain itu usaha kecil juga kembali boleh dibuka hingga pukul 21:00 WIB, dan warung makan atau sejenisnya diizinkan bukan hingga pukul 20:00 WIB, dan boleh makan ditempat dengan protokol kesehatan yang ketat, dan maksimal 20 menit setiap pengunjung.
Kemudian pusat perbelanjaan, mal, pusat perdagangan dibuka dengan kapasitas maksimal 25% sampai dengan 17.00 waktu setempat. Tetapi pembukaan tersebut berlaku di wilayah yang menerapkan PPKM level 3, sementara untuk level 4 masih belum dibuka.
Sementara itu, jelang pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) Kamis dini hari nanti, posisi beli dolar AS mengalami peningkatan signifikan.
![]() |
Data terbaru dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) menunjukkan posisi net long dolar AS kini berada di level tertinggi sejak Juni 2020. Artinya, posisi beli dolar AS sedang menumpuk, padahal di awal Juni lalu posisi jual yang masih dominan (net sell).
Dengan besarnya posisi net buy tersebut bisa menjadi "bom waktu" yang membuat dolar AS meledak, dan pemicunya bisa jadi pengumuman kebijakan moneter The Fed.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Analis Beda Pendapatan Soal Tapering The Fed
Jelang pengumuman kebijakan moneter The Fed, ada perbedaan pendapatan mengenai panduan yang akan diumumkan. Ada analis yang memprediksi The Fed akan melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) dalam waktu dekat. Analis lain malah memprediksi bank sentral paling powerful di dunia akan menjadi yang paling telat dalam melakukan normalisasi suku bunga.
Analis dari Commonwealth Bank of Australia (CBA) menjadi yang memprediksi The Fed akan memberikan sinyal waktu tapering sudah dekat, dan akan membuat dolar AS perkasa.
"Kita memperkirakan komite pembuat kebijakan moneter (FOMC) akan menghilangkan kata 'substansial' dari 'kemajuan substansial lebih lanjut' dalam panduan kebijakannya" kaya analis dari CBA Joseph Capurso dalam sebuah catatan kepada nasabahnya, sebagaimana dikutip CNBC International, Senin (26/7/2021).
"Menghilangkan kata 'substansial' akan menjadi sinyal FOMC yakin dalam waktu dekat akan melakukan pengurangan nilai QE, dan pengumuman tapering resmi akan dillakukan di bulan September nanti" tambahnya.
Sementara itu, Eric Nelson, ahli strategi makro di Well Fargo Securities yang berada di New York mengatakan tidak yakin dolar AS akan mampu mempertahankan penguatan dalam beberapa pekan ke depan, sebab yield obligasi (Treasury) AS sedang mengalami penurunan.
"Dolar AS terlihat lelah setelah reli dalam beberapa pekan terakhir. Dolar AS terlihat kehilangan momentum, baik dari perspektif fundamental maupun teknikal," kata Nelson, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (22/7/2021).
Pada pekan lalu, indeks dolar AS mencapai level tertinggi sejak awal April di 93,191. Kenaikan indeks dolar AS tersebut berbanding terbalik dengan yield Treasury AS tenor 10 tahun yang menyentuh level terendah sejak pertengahan Februari 1,128%. Yield Treasury kini menuju penurunan dalam 4 bulan beruntun. Sejak akhir Maret hingga saat ini, yield tersebut sudah turun lebih dari 50 basis poin.
Pergerakan yield Treasury sering dikaitkan dengan suku bunga di AS. Ketika yield Treasury naik, pelaku pasar berekspektasi bank sentral AS (The Fed) akan mengetatkan kebijakan moneter dengan tapering hingga menaikkan suku bunga.
Sehingga ketika yield Treasury mengalami penurunan, artinya ekspektasi pengetatan moneter meredup.
Nelson saat ini yakin, The Fed akan menjadi salah satu bank sentral di dunia yang tertinggal atau paling telat dalam melakukan normalisasi kebijakan moneter.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
