Covid Varian Delta Bikin Mata Uang Asia Tak Tentu Arah

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 July 2021 13:45
FILE PHOTO: South Korean 10,000 won note is seen on U.S. 100 dollar notes in this picture illustration taken in Seoul, South Korea, December 15, 2015. REUTERS/Kim Hong-Ji/File Photo
Foto: REUTERS/Kim Hong-Ji

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah meningkatnya penyebaran virus corona varian delta, mayoritas mata uang Asia bergerak bervariasi melawan dolar Amerika Serikat (AS). Pergerakan tersebut terbilang menarik, sebab dolar AS merupakan aset yang dianggap safe haven, dan permintaannya akan meningkat dan nilainya menguat ketika virus corona kembali "meledak".

Tetapi, nyatanya beberapa mata uang Asia masih mampu menguat, artinya virus corona membuat arah pergerakan mata uang tak menentu.

Melansir dara Refinitiv, hingga pukul 13:17 WIB rupee India yang pagi tadi melemah, kini berbalik menguat tipis 0,01%. Dolar Singapura mempertebal pelemahan menjadi 0,26%, sementara peso Filipina menjadi yang terbaik dengan penguatan sebesar 0,26%. 

Sementara itu rupiah dan ringgit Malaysia hari ini libur Hari Raya Idul Adha. Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.

idr

Virus corona varian delta sedang meningkat penyebarannya di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat. Presiden AS Joseph "Joe" Biden, mengatakan penyebaran terjadi di negara bagian yang vaksinasi berjalan lambat.

"Jadi tolong, tolong segera vaksinasi," kata Biden sebagaimana dilansir Reuters.

Penyebaran virus corona varian delta membuat pasar saham mengalami aksi jual sejak Senin kemarin, yang menjadi indikasi memburuknya sentimen pelaku pasar. Lagi-lagi, hal tersebut bisa menguntungkan bagi dolar AS. Tetapi nyatanya tidak, the greenback masih kesulitan menguat.

Masih belum jelasnya kapan bank sentral AS (The Fed) akan melakukan tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) membuat dolar AS kesulitan menguat.

Ketua The Fed Jerome Powell berulang kali meredam spekulasi tapering akan dilakukan di tahun ini.

Powell berbicara dalam rangka Semi Annual Monetary Policy Report di hadapan House Financial Services Committee pada pekan lalu, dan mengatakan belum akan merubah kebijakan moneternya. Sementara itu inflasi tinggi di AS, yang kembali memunculkan spekulasi tapering di tahun ini, sekali lagi ditegaskan hanya bersifat sementara, dan ke depannya tekanan inlasi akan moderat.

Menurut Powell, tolak ukur The Fed yakni "kemajuan substansial" menuju pasar tenaga kerja penuh (full employment) dan stabilitas harga masih "jauh" dari kata tercapai.

Namun di sisi lain, Presiden The Fed wilayah Chicago Charles Evans mengindikasi tapering bisa terjadi di tahun ini. Ia mengatakan perlu melihat perbaikan pasar tenaga lebih lanjut, untuk memulai tapering. Dan menurutnya perbaikan tersebut akan tercapai di tahun ini.

"Melihat beberapa bulan terakhir, pertumbuhan pasar tenaga kerja lebih lambat dari yang saya perkirakan. Saya akan bilang masih ada beberapa hal yang perlu dinilai untuk mencapai kemajuan substansial yang kita perlukan untuk merubah kebijakan moneter kami," kata Evans, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (15/7/2021).

Tingginya inflasi di AS sudah "memakan" korban, sentimen konsumen di AS merosot di bulan ini. Indeks keyakinan konsumen yang dirilis University of Michigan (UoM) menunjukkan angka 80,8 turun yang merupakan level terendah dalam 5 bulan terakhir, dan turun dari bulan Juni 85,5.

Maklum saja, inflasi yang tinggi tentunya bisa memukul daya beli warga AS, dan berisiko menahan laju pemulihan ekonomi.

Namun, The Fed masih tetap pada pendiriannya jika inflasi yang tinggi hanya sementara. Alhasil, terjadi kebingungan di pasar mengenai kapan tapering akan dilakukan.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masih Tertekan, Rupiah Bisa Sentuh Rp 14.800/USD di Q2-2021

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular