Duh! Bursa Asia Dibuka Berjatuhan, Nikkei Sampai Ambruk 2%

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Senin, 19/07/2021 08:42 WIB
Foto: Bursa Jepang (Nikkei). (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia dibuka berjatuhan pada perdagangan Senin (19/7/2021), di tengah sikap pasar yang sedang mengamati harga minyak dunia setelah kelompok negara pengekspor minyak dan sekutunya mencapai kesepakatan.

Tercatat indeks Nikkei Jepang dibuka ambles 1,1%, Hang Seng Hong Kong ambrol 1,1%, Shanghai Composite China terkoreksi 0,4%, Straits Times Singapura ambruk 1,05%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 0,73%.

Investor mengamati pergerakan di pasar minyak pada hari ini. Organisasi negara-negara pengekspor minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) telah mencapai kesepakatan pada Minggu (18/7/2021) untuk menghentikan pengurangan produksi minyak sebesar 5,8 juta barel per hari pada September 2022.


Peningkatan terkoordinasi dalam pasokan minyak dari kelompok negara tersebut dengan sekutunya atau disebut OPEC+ akan dimulai pada Agustus mendatang.

Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) yang sempat berseteru terkait besaran produksi minyak yang akan dinaikkan (setidaknya 2 juta bph), dikabarkan mencapai titik temu dengan membiarkan jatah pemangkasan UEA menjadi 3,65 juta bph, dari sebelumnya 3,168 juta bph.

Perkembangan itu terjadi ketika harga minyak mentah berjangka (futures) Brent melonjak lebih dari 40% sejauh ini pada tahun 2021, dengan permintaan minyak mentah meningkat karena ekonomi global pulih dari pandemi.

Pada pagi hari waktu Asia, harga minyak Brent terpantau tergelincir 0,84% ke level US$ 72,97 per barel. Minyak mentah Amerika Serikat (AS), West Texas Intermediate (WTI) juga turun 0,78% menjadi US$ 71,25 per barel.

Saham perusahaan minyak di Asia turut terimbas dari dua harga minyak acuan dunia turun pada perdagangan pagi hari ini. Saham minyak Inpex Jepang turun 2,22%, sementara Japan Petroleum Exploration anjlok 3,14%.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi global mulai kembali menunjukkan tanda-tanda penurunan terutama di Asia, karena di kawasan tersebut saat ini tengah berjuang untuk menekan virus corona (Covid-19) varian Delta yang sangat menular dan telah memaksa beberapa negara kembali melakukan langkah-langkah darurat.

Selain melonjaknya kasus Covid-19 akibat varian Delta, ketakutan pelaku pasar akan inflasi yang tinggi, juga masih menjadi katalis negatif hingga saat ini.

Beralih ke pasar saham AS, bursa Wall Street ditutup merosot pada perdagangan Jumat (16/7/2021) akhir pekan lalu, di tengah kekhawatiran investor soal lonjakan kasus Covid-19 seiring mengganasnya penularan virus varian Delta.

Indeks Dow Jones Industrial Average merosot 0,86% ke posisi 34.687,852, S&P 500 terkoreksi 0,76% ke 4.327,110, dan Nasdaq Composite tergelincir 0,80% ke level 14.427,240.

Dalam sepekan, Dow Jones turun 0,52%, sedangkan S&P 500 merosot 0,97% dan Nasdaq anjlok 1,87% selama periode yang sama.

Melansir Reuters, pada Kamis (15/7/2021) lalu, Los Angeles County mengatakan akan menerapkan kembali kewajiban memakai masker pada akhir pekan ini.

Pada Jumat akhir pekan lalu, pejabat kesehatan masyarakat mengatakan kasus virus corona AS naik 70% dari minggu sebelumnya, dengan angka kematian naik 26%.

"Covid mulai mempengaruhi pasar, ironisnya, untuk pertama kalinya sejak musim panas lalu, ketika perdagangan dibuka kembali," kata Jake Dollarhide, CEO Longbow Asset Management di Tulsa, Oklahoma, dikutip CNBC Indonesia, Sabtu (17/7/2021).

Sepanjang minggu ini, kekhawatiran investor tentang lonjakan inflasi baru-baru ini diimbangi dengan jaminan dari Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell bahwa lonjakan harga yang terjadi bersifat sementara.

Selain Powell, Menteri Keuangan AS, Janet Yellen juga membantu menyeimbangkan sentimen pasar setelah menyatakan bahwa inflasi tinggi kemungkinan akan melandai dalam beberapa bulan tetapi sikap kehati-hatian masih harus dipertahankan dalam menyikapinya.

"Saya tak mengatakan bahwa ini adalah fenomena berumur 1 bulan. Namun menurut saya dalam jangka menengah kita akan melihat pelemahan inflasi kembali ke level normal," kata Yellen.

Adapun dari data ekonomi, Departemen Perdagangan AS menunjukkan penjualan ritel perioder Juni dilaporkan tumbuh 0,6% secara bulanan (month-on-month/MoM), atau terbalik 180 derajat dari proyeksi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan penurunan 0,4%.

Jika penjualan otomotif dikeluarkan, maka pertumbuhan penjualan ritel mencapai 1,3% atau jauh lebih baik dari ekspektasi pasar sebesar 0,4%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Iran Dibombardir Israel, Bursa Asia & IHSG "Kebakaran"