
Pandangan Hawkish The Fed Bikin Wall Street Memerah

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Wall Street Amerika Serikat (AS) kompak memerah pada penutupan perdagangan Jumat (18/6/2021), seiring para investor khawatir bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mungkin mulai menaikkan suku bunga lebih cepat dari rencana sebelumnya.
Indeks Dow Jones merosot 533,37 poin atau 1,58% ke posisi 33.290,08. Dalam sepekan Dow Jones ambles 3,5%, terburuk sejak Oktober tahun lalu. Indeks S&P, yang berisikan 500 saham blue chip, juga anjlok 1,31% menjadi 4.166,45. Adapun dalam sepekan S&P terkoreksi 1,9%.
Kemudian, indeks yang sarat saham teknologi, Nasdaq, juga tergerus 0,92% ke 14.030,38, sementara selama sepekan turun tipis 0,2%.
Kepercayaan investor pada posisi mereka saat ini awalnya dipengaruhi oleh pertemuan kebijakan the Fed (FOMC), di mana the Fed memproyeksikan kenaikan suku bunga akan terjadi lebih cepat dari yang diantisipasi. Bank sentral AS ini juga mengisyaratkan telah mencapai titik di mana pihaknya dapat mulai berbicara tentang pengurangan stimulus besar-besaran (tapering off).
Sentimen negatif lainnya muncul dari presiden Federal Reserve St. Louis Jim Bullard, yang mengatakan bahwa dia termasuk di antara tujuh pejabat yang memprediksi kenaikan suku bunga mulai tahun depan untuk menahan inflasi negeri Paman Sam.
Inflasi, dan bagaimana bank sentral AS mengendalikannya pascapandemi, telah menjadi perhatian utama para investor menjelang pertemuan kebijakan the Fed, yang berakhir pada hari Rabu lalu.
"Saya tidak terkejut melihat pasar yang lumayan melakukan aksi jual. Saya tidak pernah terkejut, mengingat pergerakan kuat [indeks saham] yang kita miliki untuk jangka waktu yang lama, ketika Anda mengalami beberapa periode ambil untung (profit taking)," kata Tim Ghriskey, kepala strategi investasi di Inverness Counsel di New York.
"Minggu depan, Anda akan menyaksikan sejumlah gubernur Fed memberikan pidato, dan kit akan memiliki hal yang sama: beberapa gubernur akan lebih hawkish, dan beberapa akan lebih dovish, sehingga Anda akan melihat beberapa bolak-balik," Ghriskey ditambahkan.
Asal tahu saja, the Fed memperkirakan inflasi tahun ini akan di level 3,4% atau di atas proyeksi sebelumnya sebesar 2%. Jika inflasi tinggi, suku bunga acuan biasanya didongkrak. Kondisi itu memicu kenaikan imbal hasil (yield) obligasi jangka pendek (yang artinya: dijual dan harganya turun), sementara yield obligasi tenor panjang drop (harga menguat).
Ini berarti imbal hasil Treasury berdurasi lebih pendek, misalnya dua tahun, naik sementara imbal hasil berdurasi lebih lama seperti benchmark 10 tahun menurun. Obligasi tenor pendek secara nominal membagikan yield lebih rendah jika dibandingkan yield obligasi tenor panjang.
Penurunan imbal hasil obligasi jangka panjang ini mencerminkan berkurangnya optimisme pasar terhadap pertumbuhan ekonomi, sementara lonjakan imbal hasil jangka pendek menunjukkan ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed.
Fenomena ini merugikan saham perbankan AS, terutama karena pendapatan mereka bisa terpukul ketika selisih (spread) antara suku bunga jangka pendek dan jangka panjang menyempit. Saham Bank of America dan JPMorgan Chase pada hari Jumat masing-masing turun lebih dari 2%. Saham Citigroup juga turun 1,8%, membukukan penurunan harian ke 12 kali secara berturut-turut.
Sebelumnya, pada Kamis the Fed memicu koreksi besar, setelah mengindikasikan akan menaikkan suku bunga acuan dua kali pada 2023. Padahal pada Maret mereka menyebutkan baru menaikkan suku bunga acuan pada 2024.
"Investor sepertinya menginterpretasikan nada hawkish The Fed pada Rabu itu sebagai pertanda bahwa ekspansi ekonomi pasca-pandemi di AS kemungkinan bakal lebih sulit dicapai di tengah lingkungan kebijakan moneter yang kurang akomodatif," tutur analis Goldman Sachs Chris Hussey dalam laporan riset yang dikutip CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(adf/adf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article The Fed Siap Naikkan Suku Bunga, Wall Street Bergerak Galau