
Antisipasi Arah Sikap The Fed, Investor Buru SBN Tenor Pendek

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Kamis (17/6/2021), di tengah turunnya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS), setelah bank sentral AS mengindikasikan percepatan pengetatan kebijakan moneter dari 2024 menjadi 2023.
Mayoritas investor cenderung melepas kepemilikan di SBN berjangka menengah hingga panjang. Sementara itu, SBN bertenor pendek ramai dikoleksi oleh investor hari ini. Dari yield-nya, SBN tenor menengah hingga panjang mengalami kenaikan yield, sedangkan SBN berjangka pendek, yakni SBN bertenor 1 tahun dan 3 tahun mengalami penurunan yield.
Yield SBN bertenor 1 tahun dengan kode FR0061 turun sebesar 1,9 basis poin (bp) ke level 3,5%. Sedangkan SBN berjatuh tempo 3 tahun dengan seri FR0039 juga turun 6,3 bp ke posisi 4,494%. Sementara itu, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan obligasi acuan negara terpantau naik 1,6 bps ke level 6,476%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Dari Negeri Paman Sam, yield obligasi pemerintah (Treasury) acuan kembali turun pada pra pembukaan (pre-opening) perdagangan Kamis pagi waktu AS, di mana pasar mencerna ekspektasi inflasi bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang meningkat dan menandakan bahwa kenaikan suku bunga akan datang lebih cepat dari yang diharapkan.
Dilansir data dari CNBC International, yield Treasury acuan bertenor 10 tahun turun 0,9 basis poin ke level 1,56% pada pukul 04:400 pagi waktu AS, dari sebelumnya pada penutupan pasar Rabu (16/6/2021) kemarin di level 1,569%.
Sentimen pasar global didominasi oleh reaksi negatif atas hasil rapat The Fed di mana bank sentral terkuat di dunia tersebut menaikkan ekspektasi inflasi pada tahun 2021 dan memperkirakan penaikan suku bunga acuan bisa dilakukan secepatnya pada 2023.
Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) tak mengubah suku bunga acuannya (Fed Funds Rate) di level mendekati nol, yakni 0-0,25%, tetapi mengindikasikan bahwa kenaikan bisa terjadi secepatnya pada 2023.
Padahal pada Maret lalu, Ketua The Fed, Jerome Powell menyatakan tidak akan ada kenaikan suku bunga acuan setidaknya sampai dengan 2024. Dokumen dot plot yang menunjukkan ekspektasi anggota FOMC mengindikasikan bahwa kenaikan bisa terjadi dua kali pada 2023.
Powell juga tak memberikan acuan mengenai kapan pengurangan pembelian (tapering) obligasi dari pasar sekunder bakal dimulai. Dia hanya menyatakan bahwa pemulihan ekonomi terus dipantau dan akan membuat "pemberitahuan awal" sebelum mengumumkan kebijakan tersebut.
Sementara itu di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memutuskan tetap mempertahankan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) hari ini, sesuai dengan ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,5%.
Investor obligasi RI melepas SBN berjangka panjang pada hari ini karena efek dari kekhawatiran investor terkait potensi kenaikan suku bunga acuan The Fed pada tahun 2023 yang berpotensi dinaikkan dua kali.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi