
Anjlok Nyaris 1%, Rupiah Melemah 4 Hari & Terburuk Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengumuman kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) membuat nilai tukar rupiah sempat anjlok nyaris 1% pada perdagangan Kamis (17/7/2021), mendekati Rp 14.400/US$. Rupiah kini membukukan pelemahan 4 hari beruntun, dan sekali lagi menjadi yang terburuk di Asia.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,11% di Rp 14.250/US$. Setelahnya, Mata Uang Garuda terus terdepresiasi hingga 0,95% ke Rp 14.370/US$.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.350/US$, melemah 0,81%. Mayoritas mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS pada hari ini. Rupiah sekali lagi menjadi yang terburuk, hingga pukul 15:12 WIB pelemahannya paling besar.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Pada perdagangan Rabu, indeks dolar AS melesat 0,65% dan berlanjut lagi 0,57% pada hari ini setelah The Fed mengindikasikan suku bunga akan naik pada tahun 2023. Tidak hanya sekali tetapi dua kali kenaikan masing-masing 25 basis poin.
Hal tersebut terlihat dari Fed Dot Plot, dimana 13 dari 18 anggota melihat suku bunga akan dinaikkan pada tahun 2023. 11 diantaranya memproyeksikan dua kali kenaikan.
Proyeksi kenaikan suku bunga tersebut lebih cepat ketimbang perkiraan yang diberikan bulan Maret lalu, dimana mayoritas melihat suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2024.
Selain itu, dalam Fed Dot Plot terbaru, ada 7 anggota yang memproyeksikan suku bunga bisa naik pada tahun 2022.
![]() |
Artinya, jika perekonomian AS semakin membaik, ada kemungkinan suku bunga akan naik tahun depan, jauh lebih cepat dari proyeksi sebelumnya.
Sementara itu kapan tapering atau pengurangan nilai pembelian aset (quantitative easing/QE) masih belum terjawab.
Tapering dapat memicu taper tantrum, dan pernah terjadi pada tahun 2013. Saat itu, rupiah terpukul hebat.
The Fed dalam pengumuman kebijakan moneternya tidak menyebutkan mengenai masalah tapering, tetapi menyiratkan sudah mendiskusikan hal tersebut.
Tetapi, jika suku bunga akan dinaikkan lebih cepat dari sebelumnya, artinya tapering juga kemungkinan besar akan lebih cepat, terjadi di semester II tahun ini. Apalagi The Fed juga menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4% dari sebelumnya 2,4%.
"Jika The Fed menaikkan suku bunga sebanyak 2 kali di tahun 2023, mereka harus mulai melakukan tapering lebih cepat untuk mencapai target tersebut. Tapering dalam laju yang moderat kemungkinan akan memerlukan waktu selama 10 bulan, sehingga perlu dilakukan di tahun ini, dan jika perekonomian menjadi sedikit panas, maka suku bunga bisa dinaikkan lebih cepat lagi," kata Kathy Jones, kepala fixed income di Charlers Schwab, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (17/6/2021).
Meski tapering kemungkinan terjadi lebih cepat, tetapi taper tantrum sepertinya tidak akan se-horor 2013, jika melihat pergerakan dolar AS pada hari ini. Beberapa mata uang Asia masih mampu menguat hari ini, won Korea Selatan misalnya, menguat 0,21%.
Apalagi berkaca dari 2013, The Fed kali ini akan berusaha menghindari taper tantrum. Salah satu pemicu taper tantrum pada 2013 adalah pengumuman tapering yang mengejutkan pasar. Artinya pasar belum mengantisipasi hal tersebut.
Kali ini, The Fed akan berusaha terus memberikan update mengenai kebijakan moneter yang akan diambil, sehingga pasar lebih siap menghadapi tapering.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Tahan Suku Bunga dan Jurus Hadapi Taper Tantrum
Bank Indonesia (BI) juga mengumumkan kebijakan moneter pada hari ini. BI memutuskan tetap mempertahankan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) hari ini. Keputusan yang sesuai dengan ekspektasi pasar.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 16-17 Juni 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," sebut Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers usai RDG, Kamis (17/6/2021).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,5%. Seluruh institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus sepakat bulat
Perry juga menyinggung masalah tapering yang menurutnya tidak akan terjadi di tahun ini.
"Kami melihat tapering The Fed tidak terjadi tahun ini. Akan terus kami pantau kalau ada indikator-indikator baru jika ada perubahan, tetapi kemungkinan tapering akan dilakukan tahun depan," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Juni 2021, Kamis (17/6/2021).
Menurut Perry, The Fed akan memulai tapering dengan mengurangi pembelian surat berharga, ini kemungkinan diterapkan pada kuartal I-2021. Kemudian suku bunga acuan diperkirakan baru naik pada 2023.
Oleh karena itu, lanjut Perry, BI akan terus bersiap agar Indonesia mampu menghadapi gejolak akibat tapering off. Caranya adalah melakukan stabilisasi di pasar agar nilai tukar rupiah tetap terjaga.
"Kami akan optimalkan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah dan berkoordinasi dengan pemerintah agar pengaruh ke yield SBN (Surat Berharga Negara) dalam batas-batas yang normal. Ini sudah kita lakukan sejak awal pandemi Covid-19 dan saat ada kenaikan yield US Treasury Bonds pernah mencapai 1,9%. Ini langkah-langkah yang terus kami lakukan. Dengan langkah-langkah itu, kami masih akan mengarahkan kebijakan moneter dan likuiditas, makroprudensial mendukung pemulihan ekonomi nasional," jelas Perry.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
