
Rupiah Melemah 3 Hari Beruntun, Kini Terlemah di Asia

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Rupiah akhirnya melemah 3 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (16/6/2021). Perhatian utama tertuju pada pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) Kamis dini hari waktu Indonesia.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% di Rp 14.230/US$. Setelahnya, rupiah terus terdepresiasi hingga 0,32% di Rp 14.265/US$.
Posisi rupiah sedikit membaik, di akhir perdagangan rupiah berada di Rp 14.235/US$ atau melemah 0,11%. Dalam 2 hari sebelumnya, rupiah melemah 0,8% dan 0,14%.
Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang utama Asia juga melemah. Hingga pukul 15:07 WIB, rupiah dengan pelemahan 0,11% menjadi yang terburuk di Asia.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Isu tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) akan terjawab saat The Fed mengumumkan kebijakan moneter nanti. Dampaknya bagi rupiah akan terasa pada perdagangan Kamis besok.
Pasar saat ini masih bingung, apakah The Fed akan melakukan tapering dalam waktu dekat karena inflasi sudah melesat di AS, atau masih mempertahankan sikapnya yang menganggap tapering masih terlalu dini.
Tapering bisa menimbulkan gejolak di pasar finansial global yang disebut taper tantrum. Rupiah sendiri pernah merasakan ganasnya tapering pada tahun 2013 lalu.
Tingginya inflasi di AS yang membuat isu tapering semakin menguat belakangan ini.
Salah satu investor papan atas Paul Tudor Jones, inflasi yang tinggi tetapi dikatakan bersifat sementara oleh The Fed tidak masuk akal. Jones merupakan salah satu investor yang masuk dalam buku Market Wizard atau "Penyihir Pasar" karangan Jack Schwager.
"Inflasi yang dikatakan sementara tidak seperti yang saya lihat. Saya khawatir dengan inflasi dikatakan sementara saat supply sedang rendah dan demand yang tinggi," kata Jones sebagaimana dilansir Kitco Senin, (14/6/2021).
Jika The Fed memberikan sinyal mulai membahas tapering, maka rupiah berisiko merosot.
Sebaliknya jika The Fed masih sama dengan sikap sebelumnya, menyebut terlalu dini membicarakan tapering, rupiah berpotensi kembali ke jalur penguatan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Selain The Fed, Ada Besok Juga Ada BI
Setelah The Fed mengumumkan kebijakan moneter, ada Bank Indonesia (BI) yang juga melakukan hal yang sama. Artinya, BI bisa merespon pengumuman kebijakan The Fed.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap bertahan di 3,5%. Seluruh institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus sepakat bulat.
Sejak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) menghantam Indonesia, BI bergerak cepat dengan memangkas suku bunga acuan habis-habisan. Pada awal 2020, BI 7 Day Reverse Repo Rate masih berada di 5% dan kini sudah 3,5%, terendah dalam sejarah suku bunga acuan Indonesia. Artinya, BI sudah memotong suku bunga acuan sebanyak 150 basis poin (bps).
Selain penurunan suku bunga acuan, BI juga memberikan berbagai stimulus buat perekonomian nasional. Sejak awal tahun hingga 21 Mei 2021, BI telah menggelontorkan likuiditas (quantitative easing) sebesar Rp 88,91 triliun. Sepanjang 2020, nilai quantitative easing mencapai Rp 726,57 triliun.
Plus, BI juga menambah likuiditas di perekonomian (sekaligus ikut berkontribusi dalam pendanaan anggaran negara) dalam bentuk pembelian obligasi pemerintah. Tahun lalu, nilai pembelian Surat Berharga Negara (SBN) oleh BI adalah Rp 473,42 triliun dan tahun ini hingga 8 Juni 2021 nilainya adalah Rp 15,87 triliun.
Kemudian, BI juga melonggarkan ketentuan kredit buat rumah tangga. Fasilitas bebas uang muka untuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) masih berlaku.
Sementara itu, Ekonom Senior, Mirza Adityaswara juga memproyeksi Bank Indonesia akan menahan suku bunga acuan pada level 3,5% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Juni 2021.
Mirza yang juga merupakan Eks Deputi Gubernur Senior BI mengungkapkan, bahwa kebijakan moneter bank sentral menitikberatkan pada tiga hal, yakni inflasi, neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Ia juga mengatakan penurunan suku bunga sudah cukup. Sekarang terpenting, kata dia adalah mempertahankan vaksinasi rate yang harus ditingkatkan, protokol kesehatan dijaga. Sehingga aktivitas ekonomi bisa berjalan normal.
"Yang penting bahwa masalah Covid teratasi dan kesejahteraan masyarakat bisa dipulihkan," tuturnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Ngeri! 3 Hari Melesat 3% ke Level Terkuat 3 Bulan
