Kabar Gembira! 2 Survei Ini Tunjukkan Rupiah Bakal Menguat

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
08 June 2021 18:00
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat tipis 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.2pada perdagangan Selasa (8/6/2021). Sepanjang bulan ini, Mata Uang Garuda sudah menguat 0,18%, melanjutkan kinerja positif dua bulan sebelumnya.

Di bulan Mei, rupiah menguat 1,14% dan bulan sebelumnya 0,55%.

Kabar baiknya dua survei terbaru yang dilakukan Reuters menunjukkan potensi penguatan rupiah ke depannya. Yang pertama, survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters menunjukkan para pelaku pasar kini menambah posisi beli (long) rupiah, yang berada di level tertinggi sejak Februari lalu.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.

Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Survei terbaru yang dirilis Kamis (3/6/2021) menunjukkan angka untuk rupiah di -0,40, lebih besar ketimbang 2 pekan lalu -0,06. Pelaku pasar kini mengambil posisi long dalam 2 survei beruntun, setelah sebelumnya berada di posisi short dalam 6 survei beruntun.

Posisi long yang semakin meningkat artinya pelaku pasar semakin optimistis rupiah akan menguat ke depannya.

Sementara survei lain yang dilakukan Reuters pada periode 28 Mei hingga 3 Juni terhadap 45 analis, hasilnya mayoritas memprediksi mata uang emerging market yang terkait komoditas akan kembali menguat.

Sebanyak 33% analis dari memprediksi mata uang emerging market tersebut akan menguat 6 bulan ke depan, dan 31% mengatakan masih akan menguat hingga 12 bulan ke depan. Kemudian, sebanyak 28% memprediksi penguatan 3 bulan saja.

idrFoto: Reuters

Kemudian sebanyak 4% analis melihat penguatan lebih dari 12 bulan, dan 4% mengatakan penguatan masih akan berlangsung kurang dari 1 bulan saja.

Analis dari Bank of America Merril Lynch, David Hauner memproyeksikan penguatan mata uang emerging market masih akan berlanjut hingga musim panas bulan Juni hingga Agustus. Artinya ia memprediksi penguatan hingga 3 bulan ke depan.

Sementara itu analis dari Goldman Sachs mengatakan kondisi saat ini membuat mata uang emerging market yang terkait komoditas berpeluang menguat dalam jangka menengah.

"Metrik valuasi makro masih mendukung mata uang emerging maket dalam jangka pendek, perbedaan suku bunga membuat strategi carry trade kembali muncul dan kesuksesan vaksinasi akan menjadi kunci bagi kebangkitan perekonomian di semua negara emerging market, begitu juga dengan mata uangnya," kata analis Goldman Sachs, sebagaimana dilansir Reuters.

Rupiah menjadi salah satu mata uang emerging market yang terkait komoditas. Ada minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan batu bara yang menjadi komoditas ekspor andalan. Harga keduanya sedang terus menanjak, CPO pada bulan lalu menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa di atas 4.700 ringgit per ton, sementara batu bara berada di level tertinggi sejak tahun 2011.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dolar AS Galau, Tapi Waspada Tapering

Kemana arah dolar AS ke depannya masih belum jelas. Sebab perekonomian negeri Paman Sam menunjukkan pemulihan, tetapi bank sentral AS (The Fed) masih belum "puas" dengan kemajuan tersebut dan belum akan merubah kebijakan moneternya.

Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu pejabat The Fed merespon rilis data tenaga kerja AS. Tetapi, pendapat para pejabat The Fed juga terbelah, yang membuat dolar AS menjadi galau.

Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang bulan Mei terjadi penambahan tenaga kerja di luar sektor pertanian sebanyak 559.000 orang, di bawah estimasi survei Dow Jones terhadap para ekonom yakni 671.000 orang. Sementara tingkat pengangguran turun menjadi 5,8% dari sebelumnya 6,1%.

Meski data tenaga kerja AS cukup solid, tetapi banyak analis yakin data tersebut masih belum cukup membuat bank sentral AS (The Fed) untuk mengurangi nilai program pembelian asetnya (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.

Alhasil, indeks dolar AS pada hari Jumat merosot 0,47%, padahal hari sebelumnya melesat 0,67%.

Presiden The Fed wilayah Cleveland, Lorreta Mester, juga menyatakan data tenaga kerja AS bagus tetapi masih belum cukup untuk merubah kebijakan moneter.

"Saya melihat ini sebagai kemajuan yang terus dibuat pasar tenaga kerja, tentunya kabar yang sangat bagus. Tetapi, saya ini melihat kemajuan lebih jauh," kata Mester dalam acara "Squawk on the Street" CNBC International, Jumat (4/6/2021).

Sementara sebelumnya, Presiden The Fed wilayah Philadelphia, Patrick Harker, mengatakan perekonomian AS terus menunjukkan pemulihan dari krisis virus corona dan pasar tenaga kerja terus menunjukkan penguatan, dan menjadi saat yang tepat bagi The Fed untuk mulai memikirkan tapering.

"Kami berencana mempertahankan suku bunga acuan di level rendah dalam waktu yang lama. Tetapi ini mungkin saatnya untuk mulai memikirkan pengurangan program pembelian aset yang saat ini senilai US$ 120 miliar," kata Harker sebagaimana dilansir Reuters.

Selain pejabat The Fed, para analis juga berbeda pendapat kemana arah dolar AS ke depannya. Reuters mengadakan survei pada 28 Mei hingga 3 Juni terhadap 63 analis. Hasilnya, sebanyak 33 orang mengatakan pelemahan dolar AS sudah selesai, sementara sisanya memprediksi dolar AS masih akan melemah 0,5% hingga 6% dalam tiga bulan ke depan.

"Saya benar-benar bingung mengenai apa yang akan terjadi 3 bulan ke depan, kita pada akhirnya akan melihat The Fed memberikan pernyataan tapering yang lebih tegas, membuat pasar dipenuhi ketidakpastian," kata John Hardy, kepala strategi valuta asing di Saxo Bank, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (4/6/2021).

Meski demikian, CNBC International melaporkan The Fed kemungkinan sudah mulai mendiskusikan tapering di bulan ini atau bulan depan. Meski demikian, pengumuman kapan tapering akan dilakukan baru akan dilakukan pada bulan September atau November. Dan tapering pertama akan dilakukan pada Desember tahun ini atau Januari tahun depan.

Meski demikian, The Fed dikatakan berusaha menghindari taper tantrum seperti 2013 yang memicu gejolak di pasar finansial global.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular