Makin Siang, Bursa Saham Asia Merosot Makin Dalam!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 May 2021 12:55
Kantor pusat KEB Hana Bank di Seoul, Korea Selatan, Kamis, 23 Juli 2020. (AP/Ahn Young-joon)(AP Photo/Ahn Young-joon)
Foto: Kantor pusat KEB Hana Bank di Seoul, Korea Selatan, Kamis, 23 Juli 2020. (AP/Ahn Young-joon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan jual masih terus menerpa bursa saham Asia, hingga perdagangan Kamis (13/5/2021) kemerosotan semakin dalam. Indeks Nikkei Jepang memimpin jebloknya bursa saham Benua Kuning, dan kemungkinan besar akan disusul bursa saham Eropa.

Hingga pukul 12:00 WIB, indeks Nikkei Jepang anjlok 1,8% ke 27.642,71, kemudian indeks Topix minus nyaris 1% ke 1.859,85. Indeks Kospi Korea Selatan yang sebelumnya sempat menipiskan pelemahan hingga di bawah 0,1% kini malah jeblok 0,85% ke 3.134,74.

Indeks Shanghai Composite dan Hang Seng Hong Kong juga tidak lepas dari tekanan jual. Keduanya merosot 0,74% dan 0,92%. Indeks lainnya seperti Sensex India, Set Thailand serta indeks saham Taiwan penurunannya juga mendekati 1%.

Sementara itu tanda-tanda bursa saham Eropa akan menyusul ke zona merah terlihat dari pergerakan indeks DAX berjangka (futures) Jerman yang sudah melemah 0,48% dan indeks FTSE futures Inggris minus 0,47%.

Tekanan jual di bursa saham global terjadi setelah bursa saham AS (Wall Street) anjlok ke level terendah 2 bulan pada perdagangan Rabu kemarin. Ketiga indeks utama di Wall Street anjlok 2% lebih setelah data menunjukkan inflasi di AS melesat naik.

Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan April melesat atau mengalami inflasi 4,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Rilis tersebut jauh lebih tinggi ketimbang hasil survei Dow Jones sebesar 3,6%.

Sementara dari bulan Maret atau secara month-to-month (mtm) tumbuh 0,8%, juga jauh lebih tinggi dari survei 0,2%.

Sementara inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 3% yoy dan 0,9% mtm, lebih dari dari ekspektasi 2,3% yoy dan 0,3% mtm.

Kenaikan inflasi secara tahunan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 2008, sementara secara bulanan terbesar dalam 40 tahun terakhir.

The Fed sebenarnya menggunakan inflasi berdasarkan Personal Consumption Expenditure (PCE) sebagai acuan, meski demikian inflasi IHK yang tinggi juga bisa menjadi indikasi inflasi PCE akan melesat.

The Fed menetapkan target inflasi rata-rata 2%, jika dalam beberapa bulan ke depan inflasi konsisten di atas target tersebut, bukan tidak mungkin The Fed dalam waktu dekat mempertimbangkan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.

QE yang digelontorkan senilai US$ 120 miliar per bulan sejak Maret 2020 merupakan salah satu alasan bursa saham dunia mampu bangkit dari keterpurukan saat mengalami aksi jual di bulan yang sama tahun lalu.

Alhasil, jika QE dikurangi atau munculnya ekspektasi tapering maka pasar saham merespon negatif.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Mayoritas Dibuka Hijau, KOSPI Memimpin!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular