
Dolar Diramal Loyo Sampai 3 Bulan Lagi, Rupiah Jadi Seksi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Apa jadinya jika pasokan uang beredar di perekonomian meningkat secara pesat? Inflasi? Bisa jadi kalau memang uang itu berputar alias berpindah tangan dari satu orang (agen) ke orang lain.
Inflasi adalah sebuah fenomena yang umum dalam kehidupan sehari-hari. Inflasi adalah kenaikan sekelompok barang dan jasa dalam suatu perekonomian. Ketika harga barang dan jasa naik maka nilai dari uang sebagai alat tukar turun (terdepresiasi).
Inflasi bisa disebabkan oleh banyak hal terutama dinamika permintaan dan penawaran dari barang itu sendiri maupun dari sisi ketersediaan alat tukar dan likuiditasnya. inflasi yang hangat dibutuhkan untuk menstimulasi perekonomian.
Layaknya suhu tubuh, jika inflasi terlalu tinggi (hiperinflasi) maka ekonomi bisa overheat. Begitupun sebaliknya, jika terlalu dingin (deflasi) ekonomi bisa loyo. Bagaimanapun juga kedua kondisi tersebut tidak diinginkan oleh semua pelaku ekonomi.
Sebagai garda terdepan penjaga stabilitas harga, bank sentral biasanya menetapkan sasaran target inflasi yang diinginkan agar tidak terlalu panas maupun dingin. Ideal.
Pandemi Covid-19 memberi pelajaran berharga karena resesi yang terjadi bukan diakibatkan oleh ekspansi kredit yang berlebihan atau ugal-ugalan. Tidak ada masalah dengan sistem keuangan pada umumnya. Bank-bank dalam kondisi sehat.
Namun akibat krisis kesehatan meluas ke berbagai penjuru dunia dengan cepat, maka mau tak mau ekonomi harus dikunci. Penguncian ini membuat dua sisi ekonomi terpukul sekaligus. Baik demand maupun supply keduanya menyusut.
Tahun 2020, output perekonomian global diestimasikan menyusut 3% dibanding tahun 2019 yang masih mampu tumbuh 3%. Penurunan pendapatan baik rumah tangga maupun korporasi berdampak pada penurunan aggregate demand.
Inflasi di negara-negara maju yang sudah rendah berubah menjadi deflasi. Bahkan di negara berkembang seperti Indonesia pun deflasi sempat terjadi. Belajar dari Jepang, jebakan deflasi sangat mengerikan.
Selama hampir lebih dari dua dekade Negeri Matahari Terbit bersusah payah untuk menstimulasi ekonominya agar keluar dari rendahnya inflasi. Pandangan Bapak Makroekonomi Dunia John Maynard Keynes menjadi sangat relevan.
Pemerintah dan pengambil kebijakan harus mengambil langkah intervensi untuk menyelamatkan perekonomian. Saat rumah tangga mengerem belanjanya, korporasi menunda ekspansi dan investasi sementara permintaan ekspor dan impor juga jatuh, maka tinggal pemerintah yang tersisa.
Di tengah adanya short fall pajak, belanja pemerintah harus digenjot untuk menstimulasi ekonomi yang layu. Bank sentral turunkan suku bunga dan injeksi likuiditas sementara otoritas fiskal tebar stimulus mulai dari relaksasi pajak, pemberian batuan sosial berupa BLT hingga relaksasi kredit.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemerintah menebar stimulus dalam jumlah yang jumbo. Jepang memberikan stimulus fiskal lebih dari 50% output perekonomiannya. Sementara AS dan Inggris juga melakukan hal yang sama tetapi porsinya lebih rendah. Namun tetap saja di atas 10% dari PDB.
Bank sentral negara maju yang tergabung dalam G4 yaitu The Fed, Bank of England (BoE), Bank of Japan (BoJ) dan yang paling muda European Central Bank (ECB) memangkas habis suku bunganya.
Zero rates at lower for longer. Rezim suku bunga nol persen kembali terjadi setelah krisis keuangan global tahun 2008. Quantitative Easing (QE) atau dalam bahasa yang sangat awam adalah kebijakan cetak duit juga ditempuh oleh bank sentral.
Money printing kali ini menjadi opsi tersisa untuk menyelamatkan perekonomian karena suku bunga sudah terlalu rendah dan banyak yang masih menentang kebijakan rezim suku bunga negatif.
Bank-bank sentral global juga melakukan hal serupa untuk menambal defisit fiskal pemerintah hingga membuat pasar keuangan tetap berfungsi. Namun laju QE kali ini jauh lebih cepat dibanding 12 tahun silam.
Bayangkan saja hanya dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan The Fed sudah cetak duit lebih dari US$ 3 triliun untuk dibelikan aset keuangan seperti surat utang pemerintah hingga Mortgage Backed Securities (MBS).
Alhasil aset bank sentral yang tercatat di neraca (balance sheet) menggembung ke level all time high. Kini dalam neraca The Fed ada lebih dari US$ 7 triliun aset atau setara dengan 35% dari total output perekonomian AS.
Melihat realitas ini ekspektasi terhadap inflasi naik. Apalagi vaksinasi juga terus digeber. Artinya ketika perekonomian mulai dibuka, uang yang tadinya mengendap di tabungan akan segera dibelanjakan dan akan membuat inflasi naik.
Dengan kebijakan makro yang akomodatif tersebut membuat greenback tertekan. Survei yang dilakukan oleh Reuters akhir November lalu terhadap para ahli strategi valas menunjukkan pandangan yang terbelah. Hampir separuh responden meramal tren pelemahan dolar hanya akan terjadi kurang dari satu tahun dan setengah lagi memprediksi pelemahan akan terjadi lebih dari satu tahun.
Kemudian baru-baru ini Reuters juga mengadakan polling kepada ahli strategi pasar valas. Mayoritas responden dolar masih akan tertekan untuk tiga bulan ke depan. Dolar yang tertekan dan ekspektasi inflasi yang tinggi membuat investor yang tak mau kekayaannya tergerus berpindah ke aset store of wealth lain.
Bagi mereka yang konservatif akan memasukkan emas dan logam mulia lain seperti perak dan platinum ke dalam portofolio investasinya. Bagi mereka yang cenderung agresif dan risk taker maka Bitcoin cs atau cryptocurrency bisa jadi pilihan.
Sementara mereka yang mencari yield dan mau mengkompensasi sedikit risiko dengan volatilitas yang tak setajam aset digital mata uang kripto maka mata uang negara berkembang bisa menjadi salah satu opsi yang dipilih.
Bagi Indonesia ini adalah kabar yang baik. Pelemahan dolar selain membuat biaya impor menjadi lebih rendah juga membuat aset-aset keuangan di pasar Indonesia akan diburu. Apalagi di era suku bunga rendah yield adalah barang langka.
Sementara surat utang pemerintah tenor 10 tahun dalam mata uang domestik sebagai benchmark memberikan yield yang masih sangat menarik jika dibandingkan dengan negara emerging market lain yang sama-sama memperoleh rating 'investment grade'.
Walaupun tahun lalu Fitch memangkas outlook Indonesia menjadi negatif, tetapi spread antara US Treasury dengan SBN untuk seri acuan semakin rendah. Di saat yang sama premi risiko yang tercermin dari Credit Default Swap (CDS) RI juga terus menurun. Artinya ada penurunan risiko.
Dengan penurunan risiko ini maka bisa dibilang reward masih cukup besar apalagi jika dibandingkan dengan negara emerging market lain seperti India misalnya. Setidaknya ketika dolar AS tergerus untuk beberapa bulan ke depan, pasar SBN berpeluang kemasukan dana asing.
Di sisi lain perbaikan prospek perekonomian dan adanya tren kebijakan ekonomi yang lebih sustainable membuat sektor komoditas terutama untuk industrial commodities mengalami peningkatan.
Tren perkembangan mobil listrik yang sangat pesat membuat permintaan terhadap baterai dari nikel naik, sehingga turut mengerek harganya. Adanya sentimen commodity supercycle juga ikut mendorong harga komoditas mulai dari energi, pangan dan pertambangan naik.
Harga batu bara sudah naik lebih dari 35% dibanding periode yang sama tahun lalu. Harga nikel juga serupa. Harga minyak mentah naik hampir 100%. Harga minyak sawit bahkan tembus rekor tertinggi dalam 10 tahun lebih.
Adanya inflow ke kontrak berjangka komoditas juga membuat harganya terkerek naik. Satu alasan utama yang membuat semua ini terjadi tentu saja adalah narasi inflasi yang tinggi dan investor butuh aset untuk lindung nilai (hedging).
Baik emas, Bitcoin dan komoditas punya kesamaan. Jumlahnya relatif stabil dan berbeda dengan mata uang fiat yang bisa dicetak kapan pun dan dalam jumlah berapa pun yang membuat nilainya terdevaluasi relatif terhadap barang dan jasa. Itulah mengapa ketika dolar AS jatuh maka harga emas, minyak, nikel hingga Bitcoin melesat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Emas Bersiap ke US$ 1.750/Oz, Gegara 3 Katalis Ini