
IMF Pangkas Lagi Proyeksi PDB Indonesia, Rupiah Tak Berdaya

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah tidak melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (14/4/2021) tetapi tidak juga menguat, dengan kata lain stagnan. Rupiah belum belum mampu menguat meski indeks dolar AS sedang nyungsep.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.600/US$. Sempat menguat 0,14% ke Rp 14.580/US$, tetapi rupiah kembali stagnan dan tertahan di level tersebut hingga penutupan perdagangan.
Meski tidak menguat, kinerja rupiah terbilang mengecewakan, sebab mayoritas mata uang utama Asia menguat. Hingga pukul 15:00 WIB, rupiah hanya lebih baik dari dolar Taiwan yang melemah 0,12%.
Tekanan bagi rupiah datang dari Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Tenggara.
IMF kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini menjadi 4,3%, dibandingkan proyeksi yang diberikan bulan Januari lalu sebesar 4,8%. Pada bulan Oktober tahun lalu, IMF bahkan memproyeksikan produk domestik bruto (PDB) Indonesia akan melesat 6,1%.
Wakil Direktur IMF untuk Departemen Asia dan Pasifik, Jonathan Ostry, mengatakan bahwa peningkatan kasus Covid dan lockdown yang kembali diberlakukan di beberapa wilayah membuat prospek pertumbuhan ekonomi beberapa negara Asia Tenggara menurun.
"Kami khawatir tentang prospek pariwisata, kapan sektor tersebut akan dibuka kembali," kata Ostry pada Rabu (14/4/2021), dikutip dari CNBC International.
Indonesia, Malaysia, dan Filipina, kata, dia, termasuk di antara mereka yang harus memperketat beberapa pembatasan tahun ini menyusul lonjakan kasus Covid. Vaksinasi berjalan lebih lambat dibandingkan dengan banyak negara di dunia.
Statistik yang dihimpun oleh Our World in Data menunjukkan bahwa 3,76% orang di Indonesia telah menerima setidaknya satu dosis vaksin Covid, lebih rendah dari tingkat global yang sebesar 5,76%. Sementara Malaysia dan Filipina 1,8% dan 0,96%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dolar AS Tertekan, Tapi Masih Tetap Jadi Primadona
Indeks dolar AS pada perdagangan Selasa kemarin turun 0,31% dan berlanjut 0,11% hingga sore ini ke 91,752. Level tersebut merupakan yang terendah sejak 22 Maret lalu.
Indeks dolar AS tertekan setelah rilis data inflasi yang mengalami kenaikan, tetapi tidak terlalu tajam.
Inflasi AS yang dilihat dari consumer price index (CPI) bulan Maret dilaporkan tumbuh 2,6% year-on-year (YoY) dari bulan sebelunnya 1,7% YoY. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari hasil survei Reuters sebesar 2,5% YoY.
Sementara inflasi inti yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan tumbuh 1,6% YoY, dari bulan sebelumya 1,3% YoY, dan lebih tinggi dari prediksi 1,5% YoY.
Kenaikan inflasi yang sedikit di atas prediksi tersebut direspon positif oleh pelaku pasar. Apalagi, kenaikan tersebut akibat low base effect, dimana pada Maret tahun lalu inflasi sangat rendah. Selain itu, The Fed memang memprediksi inflasi akan tinggi dalam beberapa bulan ke depan, sebelum kembali menurun.
Alhasil, bisik-bisik bank sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga di akhir tahun nanti tidak berubah menjadi "teriak-teriak".
Berdasarkan data dari perangkat FedWacth milik CME Group, pelaku pasar saat ini melihat probabilitas sebesar 6,7%, masih di bawah dua digit persentase.
Meski demikian, dolar AS masih menjadi primadona pelaku pasar jika dihadapkan dengan mata uang Asia termasuk rupiah.
Hal tersebut terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei terbaru yang dirilis Kamis (8/4/2021) menunjukkan angka untuk rupiah 0,59, naik dari dua pekan lalu 0,45. Artinya, semakin banyak pelaku pasar yang mengambil posisi jual rupiah. Tidak hanya rupiah, pelaku pasar juga mengambil posisi short semua mata uang Asia, dan lebih memilih dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'
