
Vaksin China Diakui Kurang Manjur, IHSG Ambruk di Sesi 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat di jalur hijau, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona merah pada penutupan perdagangan sesi pertama Senin (12/4/2021), di tengah pengakuan pejabat China bahwa vaksin mereka--yang banyak dipakai di Indonesia--kurang efektif melawan virus Covid-19.
IHSG dibuka hijau 0,17% ke level 6.080,79 tetapi berbalik melemah pada pukul 09:00, dan mengakhiri sesi pertama dengan koreksi 1,34% (81,15 poin) menjadi 5.989,057. Menurut data RTI, sebanyak 140 saham menguat, 348 tertekan dan 140 lainnya flat.
Transaksi bursa sedikit ramai dengan 10 miliaran saham diperdagangkan, sebanyak 679.000-an kali. Namun, nilai transaksi bursa menyusut menjadi Rp 5,28 triliun, atau jauh dari nilai transaksi di periode awal Januari yang menyentuh Rp 12 triliun (pada sesi 1 saja).
Investor asing masih mencetak penjualan bersih (net sell) di pasar reguler, senilai Rp 287,8 miliar. Saham yang dilego terutama adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan nilai transaksi Rp 262,4 miliar. Saham bank swasta terbesar nasional tersebut drop 1,21% atau 375 poin ke Rp 30.625 per unit.
Dari sisi nilai transaksi, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) menjadi pemimpin dengan nilai transaksi Rp 302,8 miliar. Saham BUMN tambang ini anjlok 3,85% (90 poin) ke Rp 2.250/saham.
Koreksi terjadi di tengah munculnya kabar bahwa vaksin di China tidak memiliki tingkat perlindungan yang tinggi terhadap virus Covid-19. Padahal, sekitar 60% vaksin yang dipakai pemerintah Indonesia dalam program vaksinasi saat ini merupakan produksi China.
Direktur Pusat Pengendalian Penyakit China Gao Fu mengakui bahwa efektivitas vaksin besutan Negeri Panda tersebut saat ini masih rendah, dan pihaknya menjajaki metode pencampuran vaksin untuk memperkuatnya.
"Tidak memiliki tingkat perlindungan yang sangat tinggi," tutur dia dalam konferensi pers pada Minggu malam waktu setempat, di Chengdu. Dia mengakui pihaknya secara resmi masih menjajaki kemungkinan penggunaan vaksin dengan metode berbeda, seperti eksperimen mRNA yang banyak digunakan di Negara Barat.
Dari dalam negeri, investor memantau data penjualan ritel Indonesia bulan Februari. Hingga bulan Januari, penjualan ritel sudah negatif selama 14 bulan beruntun dan pada Februari anjlok 16,4% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Bank Indonesia (BI) memprediksi penjualan ritel Indonesia masih akan mengalami kontraksi di bulan Februari, bahkan sedikit lebih parah, 16,5%. Di sisi lain, ekspektasi peningkatan penjualan ritel dan konsumsi masyarakat memudar setelah pemerintah melarang aktivitas mudik, yang selama ini memicu peningkatan konsumsi masyarakat di daerah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sempat Menguat di Sesi 1, IHSG Hari Ini Ditutup Melemah