Bursa Asia Ditutup Mixed, Nikkei Melesat tapi IHSG Merana

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
25 March 2021 16:45
People walk past an electronic stock board showing Japan's Nikkei 225 index at a securities firm in Tokyo Wednesday, July 10, 2019. Asian shares were mostly higher Wednesday in cautious trading ahead of closely watched congressional testimony by the U.S. Federal Reserve chairman. (AP Photo/Eugene Hoshiko)
Foto: Bursa Asia (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Asia ditutup bervariasi pada perdagangan Kamis (25/3/2021), menyusul kenaikan kembali kasus virus corona (Covid-19) di beberapa tempat di kawasan Eropa.

Tercatat indeks Nikkei Jepang ditutup melesat 1,14% ke level 28.729,88, KOSPI Korea Selatan menguat 0,4% ke 3.008,33, dan STI Singapura berakhir tumbuh 0,27% ke 3.141,71.

Sedangkan sisanya ditutup di zona merah pada hari ini. Tercatat indeks Hang Seng Hong Kong ditutup turun tipis 0,07% ke 27.899,61, Shanghai Composite China melemah 0,1% ke 3.363,59, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,54% ke 6.122,88.

Sikap pelaku pasar Asia cenderung beragam, di tengah kembali memburuknya sentimen dari kawasan Eropa, di mana saat ini Eropa sedang dilanda gelombang ketiga (third wave) pandemi Covid-19.

Sementara itu, saham sektor siklikal membantu penguatan indeks Nikkei Jepang pada hari ini.

"Banyak pemberitaan pesimistis yang membuat investor melepas saham siklikal kemarin. Namun pada hari ini akhirnya mereka membelinya kembali." kata Shoichi Arisawa, General Manager Divisi Riset investasi di IwaiCosmo Securities, dikutip dari Reuters.

Saham siklikal Jepang tersebut diantaranya saham emiten induk pemilik merek dagang ritel Uniqlo, Fast Retailing Co. Ltd. yang melesat 1,39%. Lalu ada saham perbankan Mitsubishi UFJ Financial Group yang meroket 2,48%, saham Sumitomo Mitsui Financial Group melonjak 2,6% dan saham Mizuho Financial Group melesat 2,01%.

Sedangkan indeks China berakhir terpuruk karena kekhawatiran pasar atas kemungkinan pengetatan kebijakan bank sentral China dan meningkatnya ketegangan antara China dan negara-negara sekutu Amerika Serikat (AS) terkait genosida kaum minoritas di Xinjiang.

Namun, yang utama adalah sentimen terkait gelombang ketiga pandemi Covid-19 di Eropa.

Phillip Lane, Kepala Ekonom Bank Sentral Uni Eropa (Europe Central Bank/ECB), mengungkapkan bahwa ekonomi Eropa tahun ini diperkirakan tumbuh 4%. Ini sudah memasukkan faktor lockdown.

Namun Lane memperingatkan bahwa kuartal II-2021 sepertinya bakal lumayan berat. "Sekarang kita akan segera masuk ke kuartal II, yang sepertinya akan terasa lama," ujarnya kepada CNBC International.

Well, pada awal tahun banyak yang menyatakan bahwa 2021 akan menjadi tahun kebangkitan, tahun yang gilang-gemilang. Namun ternyata situasinya seperti ini. Pandemi yang katanya mulai bisa terkendali karena vaksinasi ternyata masih menghantui.

Selanjutnya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali bergerak turun. Pada perdagangan kemarin waktu setempat, yield untuk tenor 10 tahun berada di 1,614%, turun 0,8 basis poin (bp).

Akhir-akhir ini, kenaikan yield US Treasury menjadi momok bagi pasar keuangan global. Kenaikan yield surat utang pemerintah Presiden Joseph 'Joe' Biden membuat instrumen lain menjadi tidak menarik.

Akhir pekan lalu, yield US Treasury sempat berada di atas 1,7%. Tidak jauh dari dividend yield indeks S&P 500 yang berada di kisaran 1,9%. Artinya, instrumen aman seperti obligasi memberi imbalan yang bersaing dengan aset berisiko.

Namun dengan data ekonomi AS yang akhir-akhir ini kurang greget, mungkin ekspektasi inflasi menjadi mereda. Sepertinya permintaan di Negeri Adidaya masih belum pulih betul, sehingga belum kuat untuk mendorong laju inflasi. Meredanya ekspektasi inflasi kemudian tercermin dengan penurunan yield obligasi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Mayoritas Dibuka Hijau, KOSPI Memimpin!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular