
Seharian Tertekan, Rupiah Bangkit Cuma Melemah Tipis 0,07%

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (19/3/2021). Kenaikan yield obligasi (Treasury) AS yang memicu capital outflow membuat rupiah tak berdaya pada hari ini.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.390/US$. Setelahnya, rupiah melemah hingga 0,49% ke Rp 14.460/US$.
Posisi rupiah sedikit membaik, berhasil terus memangkas pelemahan hingga ke Rp 14.400/US$ di penutupan perdagangan pasar spot.
Dibandingkan mata uang utama Asia, posisi rupiah kurang bagus hari ini, menjadi mata uang terburuk kedua setelah won Korea Selatan yang melemah 0,16%. Sementara mata uang utama lainnya banyak yang menguat.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun hari ini naik 6,9 basis poin ke 6,821%. Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield naik harga sedang turun begitu juga sebaliknya.
Ketika harga sedang turun, artinya sedang ada aksi jual. Sehingga kenaikan yield bisa menjadi indikasi adanya capital outflow di pasar obligasi.
Capital outflow tersebut memberikan tekanan bagi rupiah. Tidak hanya hari ini, bahkan dalam beberapa bulan terakhir sudah terjadi capital outflow di pasar obligasi yang membuat rupiah sulit menguat.
Melansir data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) pada periode 1 sampai 15 Maret, investor asing melepas kepemilikan SBN nyaris Rp 20 triliun. Capital outflow tersebut lebih besar ketimbang sepanjang bulan Februari Rp 15 triliun.
Yield Terasury AS yang terus menanjak menjadi pemicu capital outflow. Kemarin yield Treasury AS tenor 10 tahun melesat 8,8 basis poin ke 1,729%. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak Januari 2020 atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan The Fed belum membabat habis suku bunganya menjadi 0,25% dan program quantitative easing (QE) belum dijalankan.
The Fed sebelumnya diperkirakan akan menjalankan Operation Twist guna meredam kenaikan yield tersebut.
Operation Twist dilakukan dengan menjual obligasi AS tenor pendek dan membeli tenor panjang, sehingga yield obligasi tenor pendek akan naik dan tenor panjang menurun. Hal tersebut dapat membuat kurva yield melandai.
Mark Cabana, ahli strategi suku bunga di Bank of America Global Research, mengatakan Operation Twist merupakan kebijakan yang sempurna untuk meredam gejolak di pasar obligasi.
"Operation Twist, dengan menjual obligasi tenor rendah dan membeli tenor panjang secara simultan adalah kebijakan yang sempurna menurut pandangan kami," kata Cabana, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (1/3/2021).
Nyatanya, dalam pengumuman kebijakan moneter Kamis dini hari waktu Indonesia, The Fed malah tidak mempermasalahkan kenaikan yield Treasury tersebut.
The Fed masih cukup nyaman dengan kenaikan yield Treasury, selama itu merupakan respon dari membaiknya perekonomian.
Alhasil, yield Treasury terus menanjak dan terus menekan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'
