Bursa Asia Bangkit, Semua karena Magic Word dari Powell

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
18 March 2021 08:43
Passersby are reflected on an electronic board showing the exchange rates between the Japanese yen and the U.S. dollar, the yen against the euro, the yen against the Australian dollar, Dow Jones Industrial Average and other market indices outside a brokerage in Tokyo, Japan, August 6, 2019.   REUTERS/Issei Kato
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Issei Kato)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia dibuka cerah bergairah pada perdagangan Kamis (18/3/2021), mengikuti bursa saham Amerika Serikat (AS) setelah bank sentral AS mempertahankan kebijakan dovish-nya untuk menjaga likuiditas pasar.

Tercatat indeks Nikkei Jepang dibuka melesat 0,78%, Hang Seng Hong Kong dibuka melonjak 0,98%, Shanghai Composite China tumbuh 0,12%, Straits Times Index (STI) Singapura terapresiasi 0,83%, dan KOSPI Korea Selatan menguat 0,61%.

Bursa saham Asia cenderung mengikuti bursa saham AS, Wall Street yang kembali ditutup menguat pada perdagangan Rabu kemarin waktu AS.

Beralih ke AS, bursa saham New York (Wall Street) ditutup bergairah pada perdagangan Rabu (17/3/2021) waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia, setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tetap mempertahankan kebijakan dovish-nya untuk menjaga likuiditas pasar.

Indeks Dow Jones Industrial Average melesat 189,42 poin atau naik 0,6% ke level 33.015,37 atau menjadi rekor tertinggi baru, dan pertama kali dalam sejarah indeks acuan berisi 30 saham unggulan AS ini meyentuh level psikologis 33.000.

Sementara itu, indeks S&P 500 lolos dari zona koreksi dengan ditutup menguat 11,4 poin atau 0,29% ke 3.974,12 dan Nasdaq ditutup menguat 53,63 poin atau 0,4% ke 13.525,2 setelah sempat ambruk hingga 1% di awal perdagangan.

Koreksi Nasdaq pada pagi (waktu setempat) terjadi setelah imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun kembali naik ke level 1,689%. Itu merupakan level tertinggi sejak Januari 2020. Kenaikan imbal hasil telah mengganggu kinerja saham teknologi.

Namun, situasi berbalik setelah pada siang harinya, bos The Fed Jerome Powell menggelar konferensi pers mengumumkan bahwa suku bunga acuan (Fed Funds Rate) dipertahankan di evel nyaris nol persen.

Usai pengumuman tersebut, yield obligasi pemerintah AS pun langsung surut ke level 1,64%. Yield dan harga bergerak berlawanan arah, sehingga penurunan yield mengindikasikan bahwa harga sedang menguat alias diburu pemodal.

Bonus sentimen positif muncul dari pernyataan Powell, di mana dia menyampaikan proyeksi ekonomi yang lebih positif dari sebelumnya, mengimplikasikan efek pemulihan ekonomi yang nyata, dan menargetkan angka pertumbuhan ekonomi 2021 sebesar 6,5%.

"Ia terdengar sebagai skenario yang sempurna bagi investor dan outlook ke depan, dan anda tengah melihat respons pasar terhadap pandangan yang sangat optimistis ini," tutur Michael Arone, Kepala Perencana Investasi State Street Global Advisors kepada CNBC International.

Kebijakan moneter, lanjut dia, kini terkonfirmasi akan masih tetap akomodatif tak peduli imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar, inflasi dan harga aset akan bergerak seperti apa.

Dari sisi inflasi, The Fed memperkirakan indeks harga konsumen (IHK) tersebut pada tahun ini diprediksi bisa menyentuh angka 2,2%, meski dalam jangka panjang The Fed memperkirakan rerata inflasi masih akan berada di level 2%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Mayoritas Dibuka Hijau, KOSPI Memimpin!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular