
Full Alert! Pelaku Pasar Kini Balik Ambil Posisi Jual Rupiah

Jakarta, CNBC Indonesia - Sentimen pelaku pasar berubah drastis dalam 2 pekan terakhir terhadap rupiah dan mata uang Asia pada umumnya. Dolar Amerika Serikat (AS) yang dulunya "dibuang" kini berbalik diburu, dan giliran mata uang Asia yang "dibuang".
Hal tersebut terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters. Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Hasil survei terbaru yang dirilis hari ini, Kamis (11/3/2021), menunjukkan posisi long pelaku pasar terhadap rupiah dan mata uang Asia lainnya kini berubah menjadi short.
Dua pekan lalu, pelaku pasar masih mengambil posisi beli rupiah dengan angka sebesar -0,51, tetapi kini berubah menjadi jual dengan angka 0,22.
Ini merupakan kali pertama pelaku pasar mengambil posisi jual rupiah sejak akhir Oktober lalu. Dampaknya sudah terlihat, sejak survei 2 pekan lalu dirilis hingga Kamis kemarin, rupiah sudah merosot 2% lebih.
Survei tersebut memang konsisten dengan pergerakan rupiah, sehingga menjadi peringatan akan potensi berlanjutnya pelemahan Mata Uang Garuda.
Menurut survei tersebut, kenaikan yield obligasi (Treasury) AS menjadi pemicu berbaliknya sentimen pelaku pasar.
Menanjaknya yield Treasury hingga ke level pra pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) membuat dolar AS menguat dan pelaku pasar cemas akan kemungkinan terjadinya taper tantrum.
Kenaikan yield Treasury terjadi akibat ekspektasi perekonomian AS akan segera pulih, dan inflasi akan meningkat. Saat inflasi meningkat, maka berinvestasi di Treasury menjadi tidak menguntungkan, sebab yield-nya lebih rendah. Alhasil pelaku pasar melepas kepemilikan Treasury, dan yield-nya menjadi naik.
Kenaikan yield akibat ekspektasi pemulihan ekonomi dan kenaikan inflasi tersebut juga membuat pelaku pasar melihat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kemungkinan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.
Saat tapering terjadi indeks dolar AS menguat tajam, sehingga disebut taper tantrum.
Taper tantrum pernah terjadi pada tahun pada pertengahan tahun 2013 hingga 2015 lalu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke, mengeluarkan wacana tapering. Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.
Kemungkinan terjadi taper tantrum tersebut membuat pelaku pasar beralih ke dolar AS, dan meninggalkan mata uang Asia.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Tegaskan Tak Akan Ubah Kebijakan, Pasar Masih Belum Yakin
The Fed baik dalam rapat kebijakan moneter maupun dalam kesempatan lainnya berulang kali menegaskan belum akan merubah kebijakannya dalam waktu dekat.
Bank sentral paling powerful di dunia ini, menerapkan suku bunga rendah 0,25% dan QE senile US$ 120 miliar per bulan.
"Para anggota dewan melihat kondisi ekonomi masih jauh dari target jangka panjang dan kebijakan moneter masih akan akomodatif sampai target tersebut tercapai," isi notula rapat kebijakan moneter The Fed bulan Januari yang dirilis pertengahan bulan lalu, sebagaimana dilansir CNBC International.
"Akibatnya, para anggota dewan mendukung kebijakan saat ini dan panduan dasar untuk suku bunga (federal funds rate/FFR) dan nilai program pembelian aset".
Meski The Fed berulang kali menegaskan belum akan merubah kebijakannya, tetapi pelaku pasar sepertinya melihat berbeda.
Apalagi, pemerintah AS sudah mencairkan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun. Pemulihan ekonomi AS bisa semakin terakselerasi, dan inflasi berpotensi melesat. Alhasil, yield Treasury masih terus menajak.
Sementara itu ketua The Fed, Jerome Powell, saat memberikan testimoni di hadapan Kongres (DPR dan Senat) AS menegaskan hal yang sama.
"Perekonomian AS masih jauh dari target inflasi dan pasar tenaga kerja kami, dan kemungkinan memerlukan waktu cukup lama untuk mendapatkan kemajuan yang substansial," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (24/2/2021).
Powell menegaskan The Fed berkomitmen untuk menggunakan instrumen moneter secara penuh untuk mendukung perekonomian, serta membantu memastikan pemulihan ekonomi hingga sekuat mungkin.
Sejak akhir tahun lalu, The pendekatannya terhadap inflasi. Sebelumnya, The Fed menetapkan target inflasi 2%, ketika inflasi mendekati target The Fed biasanya akan mengetatkan moneter. Kini bank sentral paling powerful di dunia ini menetapkan target inflasi rata-rata 2%. Yang digarisbawahi adalah kata "rata-rata"
"Dengan perubahan tersebut, kita tidak akan mengetatkan kebijakan moneter meski pasar tenaga kerja sudah menguat," kata Powell.
Artinya, meski inflasi nanti mencapai 2%, The Fed tidak akan langsung merubah kebijakannya, tetapi membiarkannya lebih tinggi dari 2% dalam beberapa waktu ke depan. Hal tersebut dilakukan untuk mencapai rata-rata inflasi 2%, sebab inflasi saat ini masih jauh di bawahnya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Operation Twist untuk Redam Kenaikan Yield
The Fed pada rapat kebijakan moneter 16 - 17 Maret waktu setempat pekan depan diperkirakan akan mengaktifkan kembali Operation Twist yang pernah dilakukan 10 tahun yang lalu, saat terjadi krisis utang di Eropa.
Operation Twist dilakukan dengan menjual obligasi AS tenor pendek dan membeli tenor panjang, sehingga yield obligasi tenor pendek akan naik dan tenor panjang menurun. Hal tersebut dapat membuat kurva yield melandai.
The Fed sudah 2 kali menjalankan Operation Twist, pada 2011 dan 1961. CNBC International melaporkan pelaku pasar yang mengetahui perihal operasi tersebut mengatakan jika The Fed sudah menghubungi dealer-dealer utama untuk menjalankan operasi tersebut.
Mark Cabana, ahli strategi suku bunga di Bank of America Global Research, mengatakan Operation Twist merupakan kebijakan yang sempurna untuk meredam gejolak di pasar obligasi.
"Operation Twist, dengan menjual obligasi tenor rendah dan membeli tenor panjang secara simultan adalah kebijakan yang sempurna menurut pandangan kami," kata Cabana, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (1/3/2021).
Cabana menyebut Operation Twist "membunuh tiga burung dengan satu batu". Yang pertama menaikkan yield jangka pendek, kemudian stabilitas yield jangka panjang, serta tidak akan menaikkan balance sheet.
Selain Operation Twist, The Fed juga diperkirakan akan menaikkan Interest Rate on Excess Reserves (IOER) dari 0,1% menjadi 0,15%, serta menaikkan suku bunga repo overnight dari 0% menjadi 0,5%.
"Pasar akan menyambut baik kenakan IOER begitu juga panduan lainnya yang dilakukan dengan tujuan menurunkan kurva yield dan mempertahankan perekonomian pada jalur pemulihan," kata Joseph Brusuelas, ekonom di RSM, sebagaimana dilansir CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tekanan Masih Besar, Rupiah Akhir 2021 Bisa di Rp 15.000/USD