
Bitcoin Bak 'Emas Digital', Bandar Gede Ini Rela Tekor 80%!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan harga mata uang kripto (cryptocurrency) Bitcoin yang fantastis menjadi perhatian banyak pihak mulai dari spekulan, investor ritel dan institusi, ekonom hingga regulator.
Salah satu figur yang juga mencermati pergerakan aset digital ini adalah Ray Dalio, pendiri firma investasi Bridgewater Associates.
Ray Dalio bukanlah orang asing di pasar keuangan global. Namanya sudah mendunia karena kesuksesannya dalam berinvestasi dan mengelola dana klien. Perusahaannya yakni Bridgewater Associates merupakan hedge fund dengan aset kelolaan terbesar di dunia.
Total aset kelolaan (asset under management/AUM) Bridgewater Associates pada 2020 mencapai lebih dari US$ 100 miliar atau setara dengan US$ 1.400 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.000/US$.
Mengingat dana kelolaan manajer investasi ini yang sangat besar maka tak berlebihan jika kita menyebutnya 'bandar besar'
Strategi investasi Ray Dalio dan firma investasinya adalah macroinvesting. Secara sederhana mereka berinvestasi di berbagai aset keuangan mulai dari saham, obligasi, mata uang, komoditas seperti emas dan minyak dengan memperhatikan fundamental dan siklus ekonomi jangka pendek dan jangka panjang.
Harga Bitcoin yang melonjak hingga ratusan persen pada 2020 juga membuat bandar besar ini mulai melirik salah satu cryptocurrency paling populer saat ini. Bahkan dalam riset terbarunya yang berjudul Our Thoughts on Bitcoin bahkan mereka menyebut Bitcoin seperti emas digital.
Sebenarnya apa yang membuat mereka mengatakan Bitcoin ini layaknya emas digital?
Dalam publikasinya ada beberapa alasan mendasar yang membuat mata uang kripto ini dianggap seperti emas dalam bentuk digital. Pertama adalah jumlah pasokan yang terbatas.
Selain sebagai komoditas, emas juga memiliki peran sebagai uang. Namun berbeda dengan mata uang fiat kebanyakan seperti saat ini yang bisa kapanpun dicetak dalam jumlah berapapun oleh bank sentral.
Suplai emas cenderung terbatas karena harus ditambang dari perut bumi serta membutuhkan waktu. Kendati Bitcoin bentuknya adalah digital, proses untuk mendapatkan Bitcoin adalah dengan cara menambangnya secara digital pula dengan algoritma tertentu.
Selain itu pasokan Bitcoin juga terbatas. Sejak diinisiasi 10 tahun silam oleh seorang misterius bernama Satoshi Nakamoto, jumlah Bitcoin yang diperbolehkan beredar hanyalah 21 juta unit.
Berdasarkan situs coinmarketcap.com jumlah Bitcoin yang bersirkulasi sekarang mencapai 18.646.818. Dengan jumlah tersebut maka sisa Bitcoin yang masih bisa ditambang hanya 2.353.182 unit.
Selain jumlahnya yang terbatas Bitcoin juga punya karakteristik yang mirip emas yaitu 'mengglobal'. Ya! Bitcoin bisa ditransaksikan oleh setiap orang di dunia ini di manapun berada.
Selain pasokannya yang terbatas, kenaikan harga Bitcoin juga dipicu oleh permintaannya yang tinggi. Terutama saat bank sentral di dunia berupaya untuk mendepresiasi mata uang fiatnya melalui kebijakan moneter ultra-longgar berupa pemangkasan suku bunga dan pelonggaran kuantitatif yang sering dikenal sebagai kebijakan cetak uang.
Saat pandemi Covid-19 melanda dunia, bank sentral terutama The Fed telah mencetak uang lebih dari US$ 3,2 triliun hanya dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun. Pasokan uang beredar yang tinggi membuat ekspektasi inflasi yang tinggi di kalangan pelaku ekonomi.
Inflasi berarti devaluasi mata uang itu sendiri. Secara sederhana inflasi menyebabkan daya beli suatu mata uang terhadap barang dan jasa mengalami penurunan. Inflasi adalah fenomena yang menyebabkan kekayaan riil seseorang tergerus.
Akibat ekspektasi inflasi yang tinggi, banyak orang yang mencari perlindungan lewat aset lain. Salah satunya emas. Namun pada 2020 Bitcoin juga menjadi salah satu aset yang dilirik.
Baik emas dan Bitcoin adalah aset yang tak memberikan imbal hasil. Hal ini tentu berbeda dengan saham yang memberikan dividen dan obligasi yang memberikan kupon. Keuntungan dari berinvestasi di aset-aset seperti ini hanyalah dari kenaikan harganya saja atau capital gain.
Namun ketika imbal hasil di aset produktif seperti saham dan obligasi terbilang rendah, maka opportunity cost memegang aset tak berimbal hasil seperti emas dan Bitcoin jadi rendah.
Bayangkan saja ketika aset safe haven seperti obligasi pemerintah AS memberikan yield nominal sebesar 1,55% dan inflasi sebesar 1,5% maka imbal hasil riilnya adalah sebesar 0,05%. Cuannya sangat tipis.
Apalagi kenaikan harga saham yang juga 'gila-gilaan' membuat dividend yield-nya turun. Sebagai informasi saja dividend yield S&P 500 juga berada di kisaran 1,5%. Artinya imbal hasil riil setelah dikurangi inflasi menjadi lebih rendah.
Inilah yang membuat aset seperti Bitcoin harganya melonjak fantastis. Namun kenaikan harga yang tinggi juga tak lepas dari aksi spekulasi. Di sisi lain peran Bitcoin sebagai store of wealth juga dipertanyakan oleh Ray Dalio dan timnya di Bridgewater.
Pasalnya untuk saat ini harga Bitcoin masih sangat tinggi volatilitasnya. Selain itu aspek regulasi dan infrastruktur juga menjadi salah satu hal yang menjadi batu sandungan untuk para investor institusi dengan dana besar dalam berinvestasi di aset ini.
Namun ada hal yang menarik dari paper Bridgewater Associates yang dipublikasikan pada akhir Januari lalu itu. Dalam Mukaddimah si bos hedge fund manager itu menulis suatu pernyataan yang mencengangkan.
"Itulah mengapa Bitcoin terlihat seperti opsi jangka panjang di masa depan yang sangat tidak diketahui sehingga Saya bisa menaruh sejumlah uang yang saya tidak keberatan kehilangan sekitar 80%."
Namun pernyataan tersebut jangan ditelan mentah-mentah ya. Hehehe. Karena pada dasarnya Ray Dalio tak mungkin langsung all in ke Bitcoin dan setidaknya kalaupun mau berinvestasi ke Bitcoin dia dan timnya akan menyisihkan sebagian kecil uangnya untuk masuk ke aset digital tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Melesat Nyaris 150%, Millienial Pilih Bitcoin Ketimbang Emas