
Ada BI & Duit US$ 1,9 Triliun, Rupiah Bisa Perkasa Pekan Ini?

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Nilai tukar rupiah melemah 0,35% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Ro 14.290/US$ sepanjang pekan lalu, bahkan sebelumnya sempat menyentuh level 14.340/US$. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 5 November 2020 lalu.
Kenaikan yield obligasi (Treasury AS) menjadi pemicu utama melemahnya rupiah pada pekan lalu.
Kenaikan yield Treasury tersebut memberikan 3 pukulan telak bagi rupiah. 3 hal yang memberikan pukulan telak. Yang pertama memburuknya sentimen pelaku pasar yang tercermin dari jebloknya bursa saham, yang kedua risiko capital outflow di pasar obligasi sebab selisih yield antara Treasury dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menipis, dan yang terakhir melesatnya indeks dolar AS.
Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi cadangan devisa pada akhir Februari sebesar US$ 138,8 miliar, naik US$ 800 juta dibandingkan dengan posisi akhir Januari lalu.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 10,5 bulan impor atau 10,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," sebut keterangan tertulis BI.
Posisi cadev di bulan Februari lalu merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah, mematahkan rekor sebelumnya US$ 138 miliar yang dicapai pada bulan Januari lalu. Artinya dalam 2 bulan pertama tahun ini, cadev Indonesia terus mencetak rekor tertinggi.
BI kini dalam posisi bersiap untuk menghadapi situasi pasar keuangan global yang sedang bergejolak.
Hal ini diungkapkan oleh Haryadi Ramelan, Kepala Departemen Pengelolaan Devisa, sebagai Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), dalam acara Power Lunch CNBC TV Indonesia, Jumat (5/3/2021).
"Situasi pasar sedang risk off dan standby, dan full alert untuk pasar domestik kita," ujarnya.
Haryadi memastikan BI akan selalu berada di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang terkena dampak dari dinamika global tersebut.
"Ini memang situasi yang masih dinamis, dan BI sesuai mandat akan terus selalu berada di pasar, berlaku secara fundamental rupiah berapa dan ada triple intervention di spot dan DNDF (Domestic Non Delivery Forward) dan pembelian di secondary market. Ini tools yang terus kami lakukan dan pantau di pasar," papar Haryadi.
Dengan cadangan devisa yang terus meningkat, tentunya BI punya lebih banyak amunisi untuk melakukan triple intervention, sehingga stabilitas rupiah biasa terjaga.
Di pekan ini, rupiah berpeluang bangkit. Selain ada BI yang akan menjaga dengan triple intervention, stimulus fiskal di AS yang akan cair di pekan ini juga akan menjadi sentimen positif bagi rupiah.
Senat AS untuk meloloskan bantuan fiskal jumbo senilai US$ 1,9 triliun yang diusulkan oleh Pemerintah di bawah komando Presiden Joseph 'Joe' Biden.
Hasil pemungutan suara atas paket stimulus itu menunjukkan hasil 50-49. Sebelumnya House of Representative (DPR) juga sudah menyetujui stimulus tersebut.
Setelah ini, Kongres yang dikuasai Partai Demokrat akan mengesahkan paket itu per Selasa (9/3/2021) waktu setempat. Kemudian akan dikirim ke Presiden Biden untuk ditandatangani sebelum batas waktu 14 Maret 2021 demi memperbarui program bantuan sebelumnya.
Sebagai gambaran, beleid itu meliputi bantuan langsung kepada masyarakat hingga US$ 1.400 (setara Rp 20,1 juta), bantuan pengangguran senilai US% 300 (setara Rp 4,3 juta), dan perluasan child tax kepada anak-anak selama satu tahun.
Dengan cairnya stimulus tersebut artinya jumlah uang yang beredar di perekonomian AS akan bertambah, dan secara teori dolar AS akan melemah
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ada Peluang Rupiah ke Rp 14.100/US$
