
Nasib Nahas Rupiah Pekan ini: Terkapar di Hadapan Dolar AS!

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas mata uang utama Benua Kuning terdepresiasi di hadapan dolar AS minggu ini, tak terkecuali rupiah. Hanya peso Filipina dan rupee India saja yang berhasil menguat terhadap greenback.
Secara mingguan rupiah melemah 0,35% terhadap dolar AS ke Rp 14.290/US$ di arena pasar spot. Padahal akhir pekan lalu nilai tukar rupiah masih berada di Rp 14.240/US$.
Namun koreksi rupiah terbilang masih mending dibanding mata uang Asia lainnya. Yen Jepang menjadi mata uang Asia dengan kinerja paling buruk minggu ini karena anjlok 1,65% melawan greenback.
Sementara itu rupee India menjadi yang paling mentereng. Pasalnya mata uang kebanggaan Negeri Bollywood tersebut berhasil melibas dolar AS dan terapresiasi sebesar 1%. Di posisi kedua ada peso Filipina yang naik 0,27% terhadap mata uang Paman Sam.
Jika dibandingkan dengan mata uang Asia dan Eropa kinerja rupiah cenderung so-so. Di Asia rupiah berhasil menguat terhadap ringgit Malaysia, dolar Singapura, baht Thailand dan yen Jepang. Maklum, keempat mata uang Asia tersebut memang cenderung berkinerja paling buruk di hadapan sanga maha dolar.
Namun jika rupiah disandingkan dengan rupee India maupun peso Filipina kinerja nilai tukar Tanah Air cenderung tidak ada apa-apanya. Beralih ke Eropa, rupiah malah menguat di hadapan euro, franc Swiss dan poundsterling Inggris.
Minggu ini dolar AS sedang jaya-jayanya. Indeks dolar yang mengukur posisi greenback terhadap enam mata uang lainnya menguat 1,21%. Di saat yang sama imbal hasil nominal obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun juga kembali naik.
Yield nominal surat utang pemerintah AS yang menjadi acuan tersebut naik 6,73% (week on week/wow) ke 1,55%. Apabila inflasi di AS tercatat sebesar 1,5% maka imbal hasil riilnya adalah 0,05%.
Memang masih sangat rendah. Namun setidaknya sudah positif tidak seperti sebelumnya yang berada di zona negatif. Kenaikan yield membuat pasar saham bergerak dengan volatilitas yang tinggi.
Hal ini juga turut berdampak pada kinerja pasar keuangan domestik. Harga aset keuangan Tanah Air pun ikut tertekan. Yield nominal Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun yang juga jadi acuan pelaku pasar naik 0,41%. Kenaikan yield mencerminkan adanya koreksi harga.
Investor mulai mencermati adanya potensi inflasi yang tinggi di AS. Oleh karena itu mereka meminta kompensasi dengan kenaikan imbal hasil obligasinya. Ada pula kekhawatiran di pasar bahwa dengan inflasi yang tinggi bank sentral AS (The Fed) mulai akan melakukan pengetatan moneter dimulai dari tapering.
Secara umum tapering adalah kebalikan dari quantitative easing (QE). Sederhananya, QE adalah kebijakan ketika otoritas moneter mencetak uang untuk dibelikan aset-aset keuangan seperti surat utang pemerintah.
Sementara itu tapering adalah kegiatan melepas aset-aset keuangan tadi dari neraca bank sentral untuk menyerap kelebihan likuiditas di sistem keuangan guna menahan kelanjutan inflasi yang lebih tinggi.
Namun bos The Fed, Jerome Powell selalu menegaskan bahwa bank sentral tak akan gegabah untuk menarik likuiditas di pasar atau bahkan menaikkan suku bunga acuan. Powell menilai hal tersebut terlalu prematur untuk dilakukan saat ini mengingat pemulihan ekonomi yang belum solid.
Bagaimanapun juga kekhawatiran bahwa tapering akan dilakukan membuat dolar AS dan imbal hasil obligasi pemerintah Paman Sam menguat. Hal ini berakibat pada pelemahan mata uang negara lain terutama emerging market seperti Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masih Tertekan, Rupiah Bisa Sentuh Rp 14.800/USD di Q2-2021