Akankah Taper Tantrum Terulang Lagi? Simak Prediksi BI

Maikel Jefriando, CNBC Indonesia
05 March 2021 14:18
Ilustrasi Rupiah dan Dolar di Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi taper tantrum yang terjadi pada 2013 dikhawatirkan kembali terulang pada tahun ini, selepas melihat kondisi perekonomian Amerika Serikat (AS) yang katanya segera membaik. Apa tanggapan Bank Indonesia (BI)?

Haryadi Ramelan, Kepala Departemen Pengelolaan Devisa, sebagai Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, mengakui pasar keuangan global memang dinamis. Namun bukan berarti tapering akan terjadi.

"Jadi kita tidak bisa memastikan bahwa tapering akan terjadi karena ada skenario Desember tahun ini atau mungkin Fed Fund Rate (FFR) akan naik tahun depan,' ungkapnya dalam acara Power Lunch CNBC TV Indonesia, Jumat (5/3/2021).

Secara secara fundamental, posisi sekarang jauh lebih baik dari 8 tahun lalu. Fundamental yang dimaksud berkaitan dengan inflasi yang terkendali di bawah 2% dan likuiditas yang berlimpah serta ketahanan eksternal yang terjaga.

Sementara pada 2013, banyak sekali persoalan yang memperburuk situasi perekonomian dalam negeri. Seperti jatuhnya harga komoditas hingga inflasi yang melonjak akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Inflasi saat itu bisa mencapai 8%.

Pada sisi lain, Haryadi juga berpegang pada pernyataan The Fed bahwa target pengangguran di AS masih belum tercapai.

"Artinya kalau membandingkan situasi 2013 dan skenario kemungkinan tapering di 2021, itu sesuatu yang berbeda kondisinya," tegas Haryadi.

Optimisme Haryadi juga ditopang oleh lebarnya selisih imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) atau US Treasury, dengan yield surat berharga negara (SBN) bertenor 10 tahun di Indonesia. Menurutnya hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri untuk investor, dalam menempatkan dananya. "Ini hal yang musti dilihat dalam sisi yang perspektif lebih optimistis," ungkapnya.

Diketahui kenaikan pesat yield US Treasury dalam waktu singkat ini akibat pelaku pasar melihat perekonomian AS akan membaik, dan inflasi kemungkinan akan naik. Ketika inflasi naik, investor obligasi tentunya melihat bunga obligasi akan turun dan merugikan, sehingga melepas kepemilikannya, alhasil yield menjadi naik.

Kenaikan yield US Treasury yang dilatarbelakangi prospek pertumbuhan ekonomi yang serta inflasi kemungkinan menanjak, juga berarti pelaku pasar mengantisipasi kemungkinan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengurangi program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.

Tapering merupakan salah satu hal yang ditakutkan, sebab berkaca dari pengalaman sebelumnya, kebijakan memberikan dampak yang besar di pasar finansial termasuk Indonesia. Saat itu dikenal dengan istilah taper tantrum.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bos BI: Rupiah Ada Kecenderungan Menguat!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular