
Awal Maret Bursa Asia Cerah Bergairah, Nikkei Melesat!

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia dibuka menguat pada Senin (1/3/2021) awal pekan sekaligus awal perdagangan di Maret 2021, seiring sikap investor yang sedang menunggu rilis data indeks manajer pembelian (Purchasing Manager Index/PMI) manufaktur China periode Februari 2021.
Tercatat indeks Nikkei Jepang dibuka melesat 1,61%, Hang Seng Hong Kong melonjak 1,65%, Shanghai Composite China menguat 0,64%, dan Straits Times Index (STI) tumbuh 0,18%.
Sementara untuk indeks KOSPI Korea Selatan hari ini tidak dibuka karena sedang libur nasional memperingati Hari Kemerdekaan Samil (perjuangan melawan pendudukan Jepang).
Pelaku pasar Asia sedang menanti rilis data PMI Manufaktur China versi Caixin (Markit) untuk periode Februari 2021. Berdasarkan data dari Trading Economics, PMI China diperkirakan akan tetap sama seperti pada periode Januari 2021, yakni di level 51,5.
Sebelumnya, data dari Biro Statistik Nasional (NBS) China pada Minggu (28/2/2021) menunjukkan ekspansi sektor manufaktur China yang dicerminkan oleh Purchasing Managers' Index (PMI) melambat menjadi 50,6, dari sebelumnya 51,3.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi, dan di atas 50 berarti ekspansi.
Pelambatan dan nyaris berkontraksi lagi tentunya memberikan sentimen negatif ke pasar finansial global, apalagi China merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.
Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup bervariasi pada Jumat (26/2/2021) akhir pekan lalu. Investor mulai mengkhawatirkan terjadinya kenaikan suku bunga The Fed seiring dengan inflasi yang makin dalam.
Dow Jones Industrial Average (DJIA) ambles 1,5% ke level 30.932,37 dan S&P 500 melemah 0,47% ke 3.811,15. Sedangkan untuk Nasdaq Composite ditutup menguat 0,56% ke 13.192,34 pada perdagangan akhir pekan lalu.
Pelemahan pasar terjadi makin dalam setelah adanya rilis indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (personal consumption expenditures/PCE) yang menunjukkan inflasi yang terkendali di bulan Januari. Tercatat indeks PCE ini naik 0,3%, lebih tinggi dari perkiraan di 0,2%, naik 1,5% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Dengan posisi penutupan ini, pasar saham tak berhasil lepas dari adanya ketakutan kemungkinan kenaikan suku bunga akan terjadi. Hal ini berdampak pada turunnya yield Treasury 10 tahun sebesar 1,42% atau 10 bps, setelah naik 1,6% pada hari sebelumnya.
"Terlepas dari sifat sulit diatur dari aksi jual treasury kemarin, selisih kredit tetap terkendali, tetapi jika selisih melebar secara material dan terjadi aksi jual, The Fed, dan pasar, akan benar-benar memiliki sesuatu yang perlu dikhawatirkan," kata Quincy Krosby, Kepala Strategi Pasar Prudential Financial, dilansir dari CNBC International, Sabtu (27/2/2021).
Ekonom dan manajer investasi mengatakan pasar obligasi bereaksi terhadap ekonomi positif karena vaksin diluncurkan dan prakiraan PDB membaik, yang seharusnya mengungkit keuntungan perusahaan. Tapi hal tersebut juga bisa menandakan inflasi yang lebih cepat dari perkiraan.
"Jika pasar mulai percaya bahwa Fed entah bagaimana telah kehilangan kendali atas ke mana arah pasar obligasi, semua gagasan tentang taper tantrum akan muncul," kata Art Cashin, Direktur Operasi UBS.
Laju kenaikan yang pesat juga berdampak pada berkurangnya minat investor terhadap area pasar yang bernilai tinggi. Suku bunga yang lebih tinggi mengurangi nilai arus kas masa depan sehingga dapat memiliki efek menekan penilaian ekuitas.
Investor mengalihkan asetnya kepada aset yang dinilai sebagai 'pembuka perdagangan'. Artinya investor memilih saham-saham yang dinilai mendapatkan dampak positif dari efek vaksinasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bursa Asia Mayoritas Dibuka Hijau, KOSPI Memimpin!
