
Mohon Maaf Permirsa, Rupiah Pekan Ini Terburuk Kedua di Asia

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pekan ini, dan sekali lagi membuktikan tidak mampu bertahan lama di bawah level psikologis Rp 14.000/US$.
Sebelumnya, di awal tahun ini rupiah menembus Rp 14.000/US$, bahkan mencapai Rp 13.885/US$ pada 4 Januari lalu. Tetapi lima hari perdagangan setelahnya kembali ke atas Rp 14.000/US$.
Rupiah berhasil menembus lagi level psikologis tersebut pada 21 Januari lalu, tetapi hanya berumur sehari saja.
Mata Uang Garuda kembali ke bawah Rp 14.000/US$ pada 8 Februari lalu, lagi-lagi bertahan hanya lima hari perdagangan, Rabu lalu sudah berada di atas level psikologis tersebut.
Dibandingkan dengan mata uang utama Asia lainnya, rupiah menjadi yang terburuk kedua di pekan ini, hanya lebih baik dari peso Filipina yang melemah 0,92%. Sementara dolar Taiwan menjadi yang terbaik dengan penguatan 0,37.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia pekan ini.
Pelemahan rupiah terjadi saat dolar AS juga dalam kondisi kurang bagus akibat ekspektasi cairnya stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun dalam beberapa pekan ke depan. Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, pada Kamis waktu setempat mengatakan paket stimulus fiskal yang besar diperlukan untuk memulihkan perekonomian AS secara penuh.
Dalam wawancara dengan CNBC International, ia meyakinkan dana US$ 1,9 triliun dapat membantu AS untuk 'tancap gas'.
Ketika stimulus tersebut cair, maka jumlah uang yang beredar di perekonomian AS akan bertambah, dan secara teori dolar AS akan melemah.
Selain itu dolar AS juga tertekan pasca rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Dalam notula tersebut, kembali ditegaskan penguaran nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan nama "tapering", belum akan dilakukan di tahun ini.
Tapering merupakan salah satu hal yang ditakutkan, sebab berkaca dari pengalaman sebelumnya memicu penguatan dolar AS.
Dalam notula tersebut, The Fed juga melihat pemulihan ekonomi AS masih berjalan lambat, sehingga kebijakan moneter ultra longgar masih akan dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Artinya suku bunga <0,25% serta QE senilai US$ 120 miliar per bulan akan dipertahankan dalam waktu yang cukup lama.
Setelah mengalami kontraksi 5% di tiga bulan pertama 2020, produk domestik bruto (PDB) di kuartal II-2020 malah ambrol hingga 31,4% secara quarterly annualized atau kuartalan yang disetahunkan (dikali 4). Kontraksi tersebut menjadi yang paling parah sepanjang sejarah AS. Dengan kontraksi yang terjadi dalam dua kuartal beruntun, artinya Negeri Adikuasa mengalami resesi.
Perekonomian AS memang bangkit di kuartal III-2020, melesat 33,4%, tetapi tingginya PDB tersebut lebih karena low base effect dari kuartal sebelumnya. Terbukti, di kuartal IV-2020 PDB AS hanya tumbuh 4%.
"Para anggota dewan melihat kondisi ekonomi masih jauh dari target jangka panjang dan kebijakan moneter masih akan akomodatif sampai target tersebut tercapai," isi notula tersebut, sebagaimana dilansir CNBC International.
"Akibatnya, para anggota dewan mendukung kebijakan saat ini dan panduan dasar untuk suku bunga (federal funds rate/FFR) dan nilai program pembelian aset."
The Fed menetapkan target rata-rata inflasi sebesar 2%, dan pasar tenaga kerja mencapai full employment, sebelum mulai merubah kebijakannya.
Saat ini, inflasi di AS berada di level 1,3%, sementara tingkat pengangguran di bulan Januari berada di level 6,3%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Pangkas Suku Bunga, Surplus Current Account Menyempit