
Cerita Pengusaha Ritel, 'Berdarah-darah' Hadapi Pandemi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi covid-19 membuat industri Indonesia berantakan tahun ini. Untuk bertahan, peritel harus terus menginjeksi modal, menjual aset dan menutup sejumlah gerai.
"Karena memang kondisi saat ini rata-rata sudah memakai uang modal. Tidak ada ekspansi, karena kalau mau tumbuh itu harus ekspansi. Nah ini tidak ada ekspansi. Sekarang itu sudah pakai uang modal atau uang cadangan," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey kepada CNBC Indonesia, Kamis (4/2/2021).
Roy mengatakan dana operasional perusahaan ritel sudah banyak yang under perform karena penjualan yang semakin menyusut. Sehingga tidak ada pertumbuhan positif dari tahun lalu untuk bertahan, bahkan research fund juga sudah habis digunakan untuk operasional.
"Operasional sudah memakai dana modal ini terpengaruh dari kondisi pandemi, ada beberapa yang sudah merumahkan karyawan, menutup toko karena produktivitas sudah pasti terdampak. Bahkan untuk membiayai fix cost maupun overhead cost toko atau gerai di wilayah tersebut. Biaya penyusutan juga ada," katanya.
Dari tingkat kunjungan sudah semakin menyusut akibat adanya pembatasan pergerakan mobilitas masyarakat (PPKM). Menurutnya rata-rata tingkat kedatangan pengunjung hanya 40%-50% ditambah dengan daya beli yang masih rendah untuk produk non esensial.
"Kedatangan pengunjung hanya 40%-50%. Jadi ada sekitar 60% yang hilang. Daya beli rendah, lalu ada PPKM masyarakat juga semakin takut untuk keluar rumah dan hanya memenuhi kebutuhan pokoknya saja. Makanya dari tingkat kunjungan yang rendah itu sangat menggerus transaksi," katanya.
Pada awal 2021, salah satu pemain ritel besar Giant kembali menutup dua gerainya di Jakarta dan Depok. Hal ini menambah gerai-gerai Giant yang harus tutup pada 2019 sebanyak 6 gerai.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Solihin mengatakan banyak peritel yang sudah kesulitan dengan pembayaran uang sewa mal karena dampak pandemi dan pengetatan pergerakan mobilitas masyarakat. Makanya banyak terjadi perampingan dari perusahaan ritel makanya banyak gerai toko yang tutup dibeberapa mal.
"Kalau di mal itu kan sewa, yang stand alone dia investasi di awal besar tapi punya sendiri. Kalau yang sewa sudah lewat masa berlakunya ya sudah hilang. Dilanjut atau tidak ya tergantung kondisi keuangan perusahaan," katanya CNBC Indonesia, Kamis (4/2/2021).
Dia menjelaskan dari beberapa format ritel mulai dari minimarket, supermarket, hypermarket, atau special store, format department store yang paling parah terkena imbas pandemi khususnya fashion. Menurutnya di masa pandemi sangat jarang untuk membeli baju baru karena kebutuhan tersier.
"Paling parah Department store, specialist store kurang, minimarket saja berkurang pendapatannya turun itu sekitar 6%. Departemen store itu Januari turun banget. Ada beberapa merek-an turun sampai 90% pendapatannya," katanya.
(hps/hps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pengusaha RI Serbu Pasar Korsel & China