
Rupiah; Awalnya Menjanjikan, Akhirnya Mengecewakan!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (18/1/2020). Padahal di pembukaan perdagangan, rupiah terlihat menjanjikan untuk kembali perkasa menembus ke bawah Rp 14.000/US$. Indeks dolar AS yang terus menguat membuat rupiah tertekan.
Melansir data Refinitiv, rupiah sebenarnya membuka perdagangan dengan menguat 0,07% ke level psikologis Rp 14.000/US$. Tetapi setelahnya rupiah langsung mental ke zona merah. Depresiasi terus membengkak hingga 0,54% ke Rp 14.085/US$.
Di penutupan perdagangan, rupiah berada di level Rp 14.060/US$, melemah 0,36%.
Mayoritas mata uang utama Asia melemah melawan dolar AS pada hari ini. Hingga pukul 15:13 WIB, hanya yen Jepang yang mampu menguat 0,11%. Sementara rupiah menjadi yang terburuk.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Sentimen positif datang dari China yang melaporkan produk domestik bruto (PDB) kuartal IV-2020 tumbuh 6,5% year-on-year (YoY), lebih tinggi dari prediksi Reuters sebesar 6,1% YoY, dan melesat dari kuartal sebelumnya 4,9% YoY.
Saat negara-negara lain masuk ke jurang resesi, China berhasil lolos, sebab produk domestik bruto (PDB) hanya sekali mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 6,8% di kuartal I-2020. Setelahnya, ekonomi China kembali bangkit dan membentuk kurva V-shape.
Tidak hanya itu, ekspor China juga mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Di tahun 2020, ekspor China dilaporkan naik 3,6% dari tahun sebelumnya menjadi US$ 2,6 triliun, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Sementara itu, impor hanya turun 1,1% di tahun 2020 lalu. Artinya aktivitas ekonomi China sudah berputar cukup kencang saat negara-negara lain tersendat akibat menghadapi virus corona.
Roda perekonomian banyak negara masih tersendat-sendat di tahun 2020 lalu, tapi China masih sukses membukukan rekor ekspor. Apalagi ketika perekonomian global mulai pulih setelah adanya vaksinasi massal, besar kemungkinan ekspor China akan kembali meroket. Sehingga di tahun ini diprediksi akan terjadi China "boom" atau meroketnya pertumbuhan ekonomi China, dengan peningkatan ekspansi sektor manufaktur akibat peningkatan ekspor, serta dimulainya vaksinasi massal di berbagai negara.
China berperan penting dalam perekonomian dunia. Nilai PDB-nya terbesar kedua di dunia, kemudian China juga merupakan konsumen komoditas terbesar di dunia.
Saat perekonomiannya menunjukkan pertumbuhan, tentunya akan berdampak pada negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. Rupiah pun menguat di pembukaan perdagangan.
Sayangnya, level psikologis Rp 14.000/US$ terbukti menjadi support yang kuat bagi rupiah, apalagi saat dolar AS sedang kuat-kuatnya. Pada Jumat pekan lalu, indeks yang mengkur kekuatan dolar AS menguat 0,46%, dan berlanjut 0,11% hingga tengah hari ini ke 90,862, level tertinggi sejak 21 Desember lalu.
Kenaikan yield obligasi (Treasury) menjadi pemicu penguatan dolar AS.
Yield Treasury tenor 10 tahun misalnya, dua pekan lalu melesat 19,5 bps, sementara pekan lalu sempat naik 8 bps ke 1,187%, yang merupakan level tertinggi sejak Maret tahun lalu, atau persis saat penyakit akibat virus corona dinyatakan sebagai pandemi.
Artinya, yield Treasury AS kini nyaris mencapai level sebelum pandemi.
Kenaikan yield Treasury tersebut membuat selisihnya dengan yield obligasi Indonesia semakin menipis, berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, yang memberikan tekanan bagi rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'
