Analisis

Ekonomi China "Boom", Rupiah Bisa ke Rp 13.900/US$ Pekan Ini?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 January 2021 09:44
Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Rupiah dan dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 0,21% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.010/US$ sepanjang pekan lalu. Tetapi pelemahan tersebut tidak terlalu buruk, mengingat sebelumnya rupiah sempat menyentuh level Rp 14.200/US$.

Meski banyak sentimen positif, tetapi rupiah masih mengalami pelemahan. Sebabnya, dolar AS yang rebound dari level terendah nyaris 3 tahun terakhir, yang dipicu oleh kenaikan yield obligasi (Treasury) AS.

Yield Treasury tenor 10 tahun misalnya, dua pekan lalu melesat 19,5 bps, sementara pekan lalu sempat naik 8 bps ke 1,187%, yang merupakan level tertinggi sejak Maret tahun lalu, atau persis saat penyakit akibat virus corona dinyatakan sebagai pandemi.

Artinya, yield Treasury AS kini nyaris mencapai level sebelum pandemi.

Kenaikan yield Treasury tersebut membuat selisihnya dengan yield SBN semakin menipis, berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, yang memberikan tekanan bagi rupiah.

Sementara pada perdagangan hari ini, Senin (18/1/2020) rupiah menguat 0,07% ke Rp 14.000/US$ saat pembukaan perdagangan.

Sentimen positif datang dari China yang melaporkan produk domestik bruto (PDB) kuartal IV-2020 tumbuh 6,5% year-on-year (YoY), lebih tinggi dari prediksi Reuters sebesar 6,1% YoY, dan melesat dari kuartal sebelumnya 4,9% YoY.

Saat negara-negara lain masuk ke jurang resesi, China berhasil lolos, sebab produk domestik bruto (PDB) hanya sekali mengalami kontraksi (tumbuh negatif) 6,8% di kuartal I-2020. Setelahnya, ekonomi China kembali bangkit dan membentuk kurva v-shape

Tidak hanya itu, ekspor China juga mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Di tahun 2020, ekspor China dilaporkan naik 3,6% dari tahun sebelumnya menjadi US$ 2,6 triliun, yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Sementara itu, impor hanya turun 1,1% di tahun 2020 lalu. Artinya aktivitas ekonomi China sudah berputar cukup kencang saat negara-negara lain tersendat akibat menghadapi virus corona.

Roda perekonomian banyak negara masih tersendat-sendat di tahun 2020 lalu, tapi China masih sukses membukukan rekor ekspor. Apalagi ketika perekonomian global mulai pulih setelah adanya vaksinasi massal, besar kemungkinan ekspor China akan kembali meroket. Sehingga di tahun ini diprediksi akan terjadi China "boom" atau meroketnya pertumbuhan ekonomi China, dengan peningkatan ekspansi sektor manufaktur akibat peningkatan ekspor, serta dimulainya vaksinasi massal di berbagai negara.

China berperan penting dalam perekonomian dunia. Nilai PDB-nya terbesar kedua di dunia, kemudian China juga merupakan konsumen komoditas terbesar di dunia.
Saat perekonomiannya menunjukkan pertumbuhan, tentunya akan berdampak pada negara-negara lainnya, termasuk Indonesia.

Selain itul, melesatnya pertumbuhan ekonomi China bisa menbuat sentimen pelaku pasar membaik, yang bisa menjadi modal rupiah untuk menguat.

Sementara, Presiden AS terpilih, Joseph 'Joe' Biden pada Kamis pekan lalu sudah mengumumkan rencana stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun juga bisa berdampak positif bagi rupiah, mengingat pada pekan lalu belum banyak direspon.

Dengan tambahan stimulus fiskal, maka jumlah uang yang beredar di AS akan bertambah, dan secara teori dolar AS akan melemah.

Pada bulan Maret 2020, dolar AS bergitu perkasa, rupiah bahkan sempat ambrol ke level Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998. Namun, AS saat itu menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun guna menanggulangi pandemi penyakit virus corona (Covid-19), dan menyelamatkan perekonomian AS.

Setelahnya nilai tukar dolar AS terus merosot. Efek yang sama kemungkinan akan muncul saat stimulus US$ 1,9 triliun yang dijanjikan Joe Biden cair.

Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) yang akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (21/1/2021) nanti juga akan mempengaruhi pergerakan rupiah. 

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Berpotensi ke Rp 13.900/US$

Secara teknikal, rupiah berhasil kembali ke bawah rerata pergerakan (moving average/MA) 50 hari atau MA 50 (garis hijau). Sehingga ruang penguatan terbuka cukup besar. 

Pada November 2020 lalu terjadi death cross alias perpotongan MA 50 hari, MA 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200). Death cross terjadi dimana MA 50 memotong dari atas ke bawah MA 100 dan 200.

Death cross menjadi sinyal suatu aset akan berlanjut turun. Dalam hal ini USD/IDR, artinya rupiah berpotensi menguat lebih jauh.

Artinya jika hari ini rupiah kembali ke bawah MA 50, pola death cross akan berlanjut yang bisa membawa Mata Uang Garuda kembali perkasa.

idrGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv

Sementara itu, indikator stochastic pada grafik harian mulai keluar dari wilayah jenuh jual (oversold), sehingga tekanan terhadap rupiah sedikit berkurang.

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.

Support terdekat berada di level psikologis Rp 14.000/US$, jika ditembus rupiah berpeluang menguat ke level Rp 13.940 hingga Rp 13.900/US$ di pekan ini. Peluang penguatan lebih jauh akan terbuka cukup lebar jika rupiah mampu mengakhiri perdagangan di bawah level Rp 13.900/US$.

Sementara jika kembali ke atas Rp 14.100 rupiah berisiko melemah ke Rp 14.135/US$ hingga Rp 14.170/US$ di pekan ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular