
Porsi di Cadev Dunia Turun, Dolar AS Bakal Lengser Keprabon?

Jakarta, CNBC Indonesia - Porsi dolar Amerika Serikat (AS) di cadangan devisa (cadev) dunia terus menurun dalam 2 kuartal terakhir. Berdasarkan data dari International Monetary Fund (IMF), menunjukkan total cadangan devisa global di kuartal III-2020 naik menjadi US$ 12,254 triliun, dari kuartal sebelumnya US$ 12,012 triliun.
Saat cadev global menanjak, porsi dolar AS justru menurun.
Data dari IMF menunjukkan porsi dolar AS di cadangan devisa dunia sebesar 60,4% di kuartal III-2020, turun dari kuartal sebelumnya 61,2%. Di kuartal I-2020, porsi dolar AS sebesar 61,8%, artinya sudah mengalami penurunan dalam dua kuartal beruntun.
Selain itu, nilai tukar sang raja mata uang ini juga terus merosot di tahun ini, yang tercermin dari penurunan indeksnya.
Indeks dolar AS yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam tersebut sepanjang tahun ini merosot 6,3%, bahkan pada pekan lalu menyentuh level terendah sejak April 2018.
Reuters melaporkan beberapa analis mempertanyakan apakah dolar AS akan kehilangan dominasinya di cadangan devisa dunia, alias lengser keprabon. Sebabnya, kekuatan geopilitik AS yang dikatakan mulai memudar, beban utang yang besar, dan munculnya mata uang alternatif.
"Itu benar, dolar AS suatu hari nanti akan kehilangan statusnya. Tetapi, kemungkinan itu terjadi saat masa hidup kita sangat rendah sekali," kata David Rosenberg, kepala ekonom dan strategis di Rosenberg Research, dalam catatan yang dikutip Reuters.
"Dominasi dolar AS sangat besar, dan tidak menunjukkan tanda-tanda kemerosotan, bahkan setelah pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) berakhir" tambahnya.
Euro menjadi mata uang dengan porsi terbesar kedua di cadev, sebesar 19,22%. Porsinya di cadev tersebut masih sangat jauh dari dolar AS, sehingga akan sangat sulit untuk melengserkannya.
Kemudian yuan China porsinya hanya 2% di cadev global, dan menjadi yang terbesar kelima setelah yen Jepang dan poundsterling Inggris. Padahal China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia.
Melansir The Balance, sekitar 90% transaksi valuta asing dunia melibatkan dolar AS, 40% obligasi dunia diterbitkan dalam bentuk dolar AS, sehingga kebutuhan akan the greenback selalu besar. Alhasil, lengsernya dolar AS dari raja mata uang dunia memang sulit untuk terjadi dalam waktu dekat.
Hasil survei terbaru dari Reuters terhadap 72 analis menunjukkan, sebanyak 39% memprediksi dolar AS akan melemah hingga 2 tahun ke depan. Persentase tersebut menjadi yang tertinggi dibandingkan prediksi lainnya. Sebanyak 10% bahkan memperkirakan dolar AS masih akan melemah lebih dari 2 tahun ke depan.
Sementara itu, 15% melihat pelemahan dolar AS hanya akan berlangsung kurang dari 3 bulan dan setelahnya mulai bangkit. 14% meramal pelemahan berlangsung kurang dari 6 bulan, dan 22% lainnya kurang dari 1 tahun.
Pelaku pasar yang mulai mengalirkan investasinya ke aset-aset berisiko menjadi alasan utama dolar AS yang menyandang status aset aman (safe haven) diprediksi masih akan terus tertekan.
![]() |
"Anda tidak bisa memiliki dolar AS yang overvalue, sesederhana itu. Dolar AS saat ini overvalue secara signifikan dalam berbagai pendekatan yang saya pikir perbedaan kebijakan moneter menjadi alasan dibalik itu semua," kata Kit Juckes, kepala strategi valas di Societe Generale, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (4/12/2020).
"Pasar bereaksi terhadap penyesuaian kebijakan moneter tersebut sedang terakselerasi karena menjadi alasan untuk mencari investasi yang lebih baik," tambahnya.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), di bulan Maret lalu memangkas suku bunga acuannya sebesar 150 basis poin (bps) menjadi 0,25%, sebagai respon terhadap pandemi penyakit virus corona (Covid-19) yang membuat perekonomian AS masuk ke jurang resesi.
Akibat pemangkasan tersebut, berinvestasi dolar AS menjadi kurang menguntungkan, yield obligasi (Treasury) juga menurun drastis, bahkan kemungkinan negatif jika inflasi di AS mengalami peningkatan.
Ketua The Fed, Jerome Powell, sebelumnya mengatakan suku bunga tidak akan dinaikkan hingga tahun 2023.
Selain memangkas suku bunga, The Fed juga menggelontorkan stimulus moneter dengan program pembelian aset (quantitative easing/QE) dengan nilai tak terbatas, berapapun akan digelontorkan selama diperlukan untuk membantu perekonomian.
Selain itu, pemerintah AS juga menggelontorkan stimulus fiskal triliunan dolar AS. Alhasil jumlah uang bereda di perekonomian meningkat drastis, secara teori nilai tukar dolar AS akan melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cadev Naik, Rupiah Menguat Pada Kisaran Rp 14.700/USD