Jakarta, CNBC Indonesia - Vaksinasi virus corona (SARS-CoV2) sudah dilakukan di beberapa negara, harapan akan hidup segera normal kembali pun semakin membuncah. Namun, vaksinasi baru saja dimulai, virus yang berasal dari kota Wuhan provinsi Hubei, China tersebut kini malah sudah bermutasi di Inggris, dan menjadi lebih cepat menyebar.
Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengumumkan temuan varian baru virus corona bernama VUI 202012/01 atau dalam klaster pohon filogenetiknya (pohon kekerabatan berdasarkan data genetik) disebut sebagai varian B.1.1.7.
Varian baru virus Covid-19 tersebut dikabarkan memiliki 70% peluang penularan lebih tinggi ketimbang strain awalnya. Akibatnya, banyak negara-negara yang menutup perbatasannya dengan Inggris.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) telah mengidentifikasi virus ini di Denmark, Belanda, dan Australia.
Kabar tersebut juga berdampak pada pasar keuangan global, sentimen pelaku pasar memburuk dan aset-aset berisiko rontok. Tidak hanya itu, aset aman (safe haven) seperti emas juga ikut melemah.
Hal ini mengingatkan akan bulan Maret lalu saat virus corona ditetapkan sebagai pandemi. Saat kedua aset yang berlawanan sifat tersebut mengalami aksi jual masif dan ambrol, hingga muncul istilah "cash is the king". Tetapi bukan sembarang uang tunai (cash), tetapi hanya dolar Amerika Serikat (AS).
Selain dolar AS, mata uang lainnya baik itu mata uang negera maju ataupun negara berkembang seperti rupiah ambrol. Pada 23 Maret lalu, rupiah bahkan menyentuh level Rp 16.620/US$ yang merupakan level terlemah sejak krisis moneter 1998. Sejak awal tahun (year-to-date/YtD) hingga ke level tersebut, rupiah ambrol nyaris 20%.
Indeks dolar AS, yang menjadi tolak ukur kekuatan mata uang Paman Sam, menyentuh level 102,99 naik 6,85%, dan berada di level tertinggi sejak Januari 2017.
Maklum saja, demi meredam penyebaran penyakit akibat virus corona (Covid-19), pemerintah di berbagai negara menerapkan kebijakan pembatasan sosial (social distancing) dan karantina (lockdown), sehingga roda perekonomian menjadi melambat bahkan nyaris mati suri, dan nyungsep ke jurang resesi.
Terjadi kepanikan di pasar keuangan yang memicu aksi jual aset secara luas, dan semua investasi tertuju ke dolar AS yang dianggap mata uang safe haven dan bisa diterima di mana saja.
Tetapi setelah itu, bank sentral dan pemerintah di berbagai negara bertindak cepat dengan menggelontorkan stimulus moneter dan fiskal guna menanggulangi Covid-19 sekaligus membangkitkan perekonomian.
Sejak saat itu, pasar mulai tenang dan kembali masuk ke aset-aset berisiko, bursa saham AS (Wall Steet) malah berhasil mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Stimulus moneter dan fiskal juga menjadi "bahan bakar" bagi emas untuk menguat hingga mencetak rekor termahal sepanjang sejarah.
Sebaliknya Dolar AS "sang raja", justru berbalik ambrol hingga menyentuh level 89,822 pada pekan lalu, melemah 6,81% YtD, dan berada di level terendah sejak April 2018.
Namun, sejak Senin kemarin, indeks dolar AS bangkit merespon kabar mutasi virus corona. Indeks tersebut bahkan sempat melesat lebih dari 1%, sebelum terpangkas dan berakhir di level 90,043 nyaris stagnan dibandingkan posisi akhir Jumat pekan lalu. Sementara hari ini, kembali naik 0,25% ke 90,266.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencoba menenangkan dengan pernyataan terbarunya. Badan PBB itu meyakinkan varian baru virus corona di Inggris, masih bisa dikendalikan dan diatasi.
WHO menegaskan kalau mutasi ini adalah bagian normal dari evolusi virus. Sehingga, dikutip Reuters, transparansi yang dilakukan negara-negara ke publik adalah hal tepat dan penting.
"Mampu melacak virus sedekat ini, dengan hati-hati, secara ilmiah dalam waktu nyata ini merupakan perkembangan positif yang nyata bagi kesehatan masyarakat global, dan negara yang melakukan jenis pengawasan ini harus dipuji," kata Kepala Darurat WHO Michael Ryan, dalam konferensi pers, Senin (21/12/2020) waktu setempat.
Meski demikian, ia mengatakan memang usaha lebih keras harus dilakukan. Ia pun optimis dunia bias menghentikan virus.
"Dalam beberapa hal, itu berarti kami harus bekerja lebih keras. Sekalipun (varian) virus menjadi sedikit lebih mudah menyebar, virus dapat dihentikan," katanya lagi dikutip dari AFP.
Sementara itu, Prof Alan McNally, seorang ahli di Universitas Birmingham mengatakan untuk tidak perlu takut berlebihan, sebab virus seperti corona yang memiliki materi genetik berupa RNA memang terkenal dengan laju mutasi yang tinggi.
Jonathan Ball, Profesor Virologi Molekuler di Universitas Nottingham, mengatakan informasi genetik pada banyak virus dapat berubah dengan sangat cepat dan terkadang perubahan ini dapat menguntungkan virus dengan memungkinkannya untuk menularkan secara lebih efisien atau melarikan diri dari vaksin atau perawatan.
Namun ia melanjutkan bahwa banyak perubahan yang tidak berpengaruh sama sekali. Hal ini disampaikannya dalam wawancara dengan BBC News.
Melihat pernyataan para ahli tersebut, pasar bisa sedikit lebih dan aksi jual masif di berbagai aset seperti pada bulan Maret lalu kemungkinan tidak akan terjadi, begitu juga dengan "cash is the king". Apalagi, stimulus fiskal di AS senilai US$ 900 miliar sebentar lagi akan cair.
Kongres (DPR dan Senat) AS sudah meloloskan rancangan undang-undang stimulus tersebut, dan akan diserahkan ke Presiden AS Donald Trump untuk ditandatangani sehingga sah dan cair.
Saat stimulus tersebut cair, jumlah uang yang bereda di perekonomian akan bertambah, secara teori nilai tukar dolar AS akan tertekan.
Selain itu, Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang mengumumkan kebijakan moneter pekan lalu berkomitmen untuk menjalankan program pembelian aset (quantitative easing/QE) sampai pasar tenaga kerja AS kembali mencapai full employment dan inflasi konsisten di atas 2%.
Artinya kebijakan moneter ultra longgar masih akan dipertahankan dalam waktu yang lama. The Fed juga menegaskan akan menambah nilai QE jika perekonomian AS kembali melambat.
The Fed memberikan proyeksi inflasi yang dilihat dari belanja konsumsi personal (personal consumption expenditure/PCE) di tahun ini sebesar 1,2%, kemudian di tahun depan 1,8%. Artinya masih belum mencapai target di atas 2%, sehingga pada tahun depan kebijakan moneter yang diterapkan masih ultra longgar.
Selain QE, The Fed juga berkomitmen mempertahankan suku bunga acuan <0,25% dalam waktu yang lama.
"Langkah-langkah ini akan memastikan kebijakan moneter akan terus memberikan dukungan yang kuat terhadap perekonomian sampai pemulihan tercapai," kata Ketua The Fed, Jerome Powell, saat konferensi pers, sebagaimana dilansir CNBC International.
Data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.
Alhasil, dolar AS masih berisiko tertekan setidaknya 2 tahun ke depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA