
Ayo Gas Terus, Rupiah! Mumpung Dolar Lagi Lemah...

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Namun tidak perlu cemas, karena depresiasi rupiah sepertinya hanya disebabkan oleh koreksi teknikal.
Pada Jumat (18/12/2020), US$ 1 setara dengan Rp 14.085 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya alias stagnan.
Namun tidak lama kemudian rupiah masuk jalur merah. Pada pukul 09:05 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.090 di mana rupiah melemah tipis 0.04%.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan tipis 0,04% di hadapan dolar AS. Mata uang Tanah Air berhasil menguat setelah nyaris seharian tidak bergerak alias stagnan.
Penguatan ini kian menegaskan keperkasaan rupiah di hadapan mata uang Negeri Paman Sam. Sejak akhir kuartal III-2020 (quarter-to-date/QtD), rupiah begitu perkasa dengan apresiasi lebih dari 5%.
Apresiasi rupiah yang demikian tajam membuat dolar AS kini sudah 'murah'. Melihat dolar AS yang sudah 'murah' ini, investor tentu akan tertarik. Rupiah dilepas untuk ditukarkan ke dolar AS, sehingga menguatkan posisi greenback.
Selain itu, Hari Natal akan datang pekan depan. Aktivitas bisnis akan lebih singkat, sementara korporasi membutuhkan valas untuk keperluan impor, pembayaran utang, penyaluran dividen, dan sebagainya. Dengan pekan depan yang singkat, lebih baik mengakumulasi valas sekarang dan ini membuat permintaan dolar AS meningkat sehingga nilai tukarnya menguat.
Kesimpulannya, depresiasi rupiah saat ini hanya fenomena sesaat. Ke depan, ruang apresiasi rupiah masih terbuka lebar.
Pasalnya, dolar AS tidak kunjung lepas dari tekanan. Pada pukul 07:35 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,69% ke 89,82. Indeks ini menyentuh titik terlemah sejak April 2018.
Arah kebijakan moneter dan fiskal di Negeri Adikuasa telah menekan mata uangnya sendiri. Kemarin, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25%, terendah sepanjang sejarah.
Kemungkinan besar Federal Funds Rate akan bertahan di level rendah ini dalam hitungan tahun. Berdasarkan arah suku bunga acuan yang tergambar dalam dotplot, Federal Funds Rate paling cepat baru naik pada 2022.
Itu pun peluangnya sangat kecil, karena hanya satu anggota Komite Pengambil Kebijakan (Federal Open Market Committee/FOMC) yang ingin suku bunga acuan naik dua tahun lagi. Kemungkinan suku bunga acuan baru benar-benar naik dalam jangka yang agak panjang.
![]() |
Tren suku bunga rendah yang bertahan dalam hitungan tahun akan membuat berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) menjadi kurang menarik. Dolar AS masih akan mengalami tekanan jual, yang sepertinya bakal terjadi dalam waktu yang tidak sebentar.
Di sisi fiskal, pemerintah AS akan tetap mempertahankan anggaran negara yang ekspansif untuk pemulihan kesehatan, pendidikan, dan sosial-ekonomi dari dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Sejauh ini, Gedung Putih sudah menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 3 triliun atau sekira Rp 42.456 triliun.
Plus, saat ini senat AS tengah membahas paket stimulus tambahan bernilai US$ 900 miliar (Rp 12.736,8 triliun). Dengan penerimaan pajak yang masih 'tiarap', pendanaan stimulus fiskal akan lebih banyak berasal dari utang, utamanya penerbitan obligasi.
Derasnya penerbitan obliigasi akan membuat pasokan dolar AS melimpah. Saat pasokan melimpah, wajar kalau 'harga' turun.
"Dolar AS akan mencerminkan wajah utang pemerintah yang terus naik karena kebutuhan penanganan pandemi," ujar Tim Ghriskey, Chief Investment Strategist di Inverness Counsell yang berbasis di New York, seperti dikutip dari Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Dolar AS Balas Dendam, Rupiah Dibikin KO Hari Ini
