
Optimisme Pasar Menguat, SBN Bertenor Panjang Diburu Pemodal

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi pemerintah Indonesia sepanjang perdagangan pekan ini menguat, sebagaimana terlihat dari pergerakan imbal hasil (yield) yang melemah 0,3%.
Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) bertenor 10 tahun yang menjadi acuan di pasar turun 1,6 basis poin (bp) ke 6,182%, dari posisi akhir pekan lalu 6,198%. Imbal hasil bergerak berlawanan dari harga sehingga koreksi yield mengindikasikan harga surat utang yang menguat.
Secara harian, posisi imbal hasil SBN 10 tahun pada Jumat (11/12/2020) itu terhitung melemah 1,3 bp dibandingkan dengan posisi pada Kamis (10/12/2020) 6,195%. Jika dibandingkan dengan yield akhir tahun lalu yang berada di level 7,098%, imbal hasil Jumat masih jauh lebih rendah.
Jika diperhatikan lebih detail, penguatan harga (pelemahan yield) sepanjang pekan ini terjadi pada obligasi pemerintah bertenor panjang (10 tahun ke atas). Sebaliknya, harga obligasi bertenor pendek (1 dan 5 tahun) justru melemah, alias imbal hasilnya naik.
Hal ini menunjukkan bahwa pelaku pasar lebih percaya dengan ekspektasi kondisi perekonomian jangka panjang, sehingga tidak keberatan untuk menyimpan dananya dalam aset yang bertenor panjang.
Hal ini juga memicu aksi jual pemodal terhadap obligasi jangka pendek yang membagikan keuntungan tetap lebih rendah, yakni antara 3%-5%. Sebagai perbandingan, keuntungan obligasi jangka panjang berkisar 6%-7%.
Aksi pembelian obligasi pemerintah sepanjang pekan ini terjadi di tengah optimisme vaksin yang mulai diedarkan di Inggris dan berpeluang mempercepat pemulihan ekonomi ke depannya, sehingga ekspektasi return jangka panjang masih positif.
Terlebih, muncul kabar dari Eropa bahwa bank sentral mereka, yakni ECB memutuskan menahan suku bunga acuannya. Suku bunga operasi refinancing utama, fasilitas pinjaman marjinal dan fasilitas simpanan masing-masing ditahan di level 0,00%, 0,25% dan -0,5%.
Bank sentral di bawah pimpinan Christine Lagarde itu juga memutuskan untuk menambah injeksi likuiditas ke sistem keuangan dengan memperbesar nilai pembelian obligasi senilai 500 miliar Euro di tengah maraknya lockdown akibat munculnya gelombang kedua Corona.
Mereka memperpanjang periode Program Pembelian Darurat Pandemi (PEPP) hingga Maret 2022, yang memungkinkan pembelian lebih banyak surat berharga di pasar, sehingga pasar dibanjiri likuiditas.
Pada akhirnya, kelebihan likuiditas itu berpeluang mengalir ke pasar negara berkembang, salah satunya untuk membeli SBN yang masih menarik dengan selisih imbal hasil hingga 3-6% dibandingkan di SBN negara maju.
TIM RISET CNBC INONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article MAMI: Yield Obligasi RI 10 Tahun Berpeluang Turun Ke 6%