Gegara BI Pangkas Suku Bunga, Daya Tarik Rupiah Jadi Meredup

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 November 2020 16:57
mata uang rupiah dolar dollar Bank Mandiri
Foto: Ilustrasi Rupiah dan Dolar (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat 0,14% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.070/US$ pada perdagangan Jumat (27/11/2020). Sepanjang pekan ini, rupiah juga membukukan penguatan 0,57%, dan tidak pernah melemah dalam 9 minggu terakhir.

Namun, dibalik kinerja impresif tersebut, terselip kabar agak kurang baik, daya tarik rupiah sedikit meredup di mata pelaku pasar. Hal tersebut terlihat dari survei 2 mingguan Reuters.

Survei dari Reuters tersebut menggunakan rentang -3 sampai 3. Angka positif berarti pelaku pasar mengambil posisi long (beli) terhadap dolar AS dan short (jual) terhadap rupiah. Begitu juga sebaliknya, angka negatif berarti mengambil posisi short (jual) terhadap dolar AS dan long (beli) terhadap rupiah.

Hasil survei terbaru yang dirilis Kamis (26/11/2020) kemarin menunjukkan angka -0,92, turun dari 2 pekan lalu -1,01 yang merupakan angka negatif tersebut merupakan yang tertinggi dalam 6 tahun terakhir.

Semakin besar angka negatif artinya pelaku pasar semakin banyak mengambil posisi long rupiah, posisi negatif yang mengecil berarti daya tarik Mata Uang Garuda meredup.

Survei tersebut konsisten dengan pergerakan rupiah di tahun ini, kala angka positif maka rupiah cenderung melemah, begitu juga sebaliknya.

Di bulan Januari saat hasil survei menunjukkan angka negatif rupiah terus menguat melawan dolar AS. Pada 24 Januari, rupiah membukukan penguatan 2,29% secara year-to-date (YtD), dan menjadi mata uang terbaik di dunia kala itu.

Pada bulan Maret lalu, ketika rupiah mengalami gejolak, investor mengambil posisi short rupiah, dengan angka survei yang dirilis Reuters sebesar 1,57. Semakin tinggi nilai positif, semakin besar posisi short rupiah yang diambil investor. Rupiah pun ambruk nyaris 20% Ytd ke ke Rp 16.620/US$, terlemah sejak krisis moneter 1998.

Memasuki bulan April, rupiah perlahan menguat dan hasil survei Reuters menunjukkan posisi short rupiah semakin berkurang, hingga akhirnya investor mengambil posisi long mulai pada 28 Mei lalu. Alhasil rupiah membukukan penguatan lebih dari 15% sejak awal April hingga awal Juni. Namun sejak saat itu, hasil survei didominasi posisi short kembali, hingga akhirnya investor mengambil posisi long lagi mulai 2 pekan lalu. 

Dengan posisi long yang menurun, artinya daya tarik rupiah juga sedikit meredup. Hasil survei Reuters menyatakan hal itu terjadi sebagai akibat pemangksan suku bunga yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) pada Kamis (19/11/2020) lalu.

Pemangkasan suku bunga tersebut tentunya menurunkan imbal hasil (yield) berinvestasi di dalam negeri, sehingga daya tarik rupiah sedikit meredup.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, dan sejawat menggelar RDG pada 18-19 November 2020. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate masih bertahan di 4%.

Tetapi dalam pengumuman hasil RDG Kamis pekan lalu, BI memutuskan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75%.

Sementara suku bunga Deposit Facility turun menjadi 3% dan suku bunga Lending Facility sekarang di 4,5%.

"Keputusan ini mempertimbangkan perkiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga dan langkah pemulihan ekonom nasional," kata Perry, dalam jumpa pers usai RDG.

BI memperkirakan inflasi akan rendah di tahun ini, bahkan di bawah 2%.

"Inflasi pada akhir 2020 lebih rendah dari batas bawah sasaran. Inflasi akan kembali ke kisaran 3% plus minus 1% pada 2021," kata Perry.

BI sebelumnya menetapkan inflasi 2020 di rentang 2% hingga 4%, sehingga di bawah batas bawah artinya di bawah 2%.

Penurunan suku bunga sebenarnya berdampak negatif bagi rupiah, sebab jumlah uang yang beredar berpotensi bertambah. Selain itu, imbal hasil (yield) di Indonesia menjadi menurun, sehingga ada risiko aliran modal asing tersendat. Tetapi, dengan inflasi yang rendah, real return berinvestasi di dalam negeri masih akan relatif tinggi, sehingga kemungkinan masih akan menarik bagi investor asing.

Selain itu, roda perekonomian bisa berputar lebih kencang, sebab biaya pinjaman baik untuk korporasi hingga rumah tangga akan menurun.

Rupiah juga masih ditopang oleh transaksi berjalan (current account) yang surplus untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir.

Pada kuartal III-2020, transaksi berjalan mencatat surplus sebesar US$ 1 miliar atau 0,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Transaksi berjalan menjadi faktor yang begitu krusial dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil.

Transaksi berjalan sudah mengalami defisit sejak kuartal IV-2011, sehingga menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia. Kala defisit membengkak, Bank Indonesia (BI) akan menaikkan suku bunga guna menarik hot money yang diharapkan dapat mengimbangi defisit transaksi berjalan, yang pada akhirnya dapat menopang penguatan rupiah.

Namun, kala suku bunga dinaikkan, suku bunga perbankan tentunya ikut naik, sehingga beban yang ditanggung dunia usaha hingga rumah tangga akan menjadi lebih besar. Akibatnya, investasi hingga konsumsi rumah tangga akan melemah, dan roda perekonomian menjadi melambat.

Kini dengan "hantu" CAD yang diperkirakan pergi dari Indonesia untuk pertama kalinya dalam 9 tahun terakhir, akan menjadi modal rupiah untuk menguat di sisa tahun ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukan Rupiah, Juara Asia Semester I-2020 Adalah Peso Filipina

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular