Bukan Sombong! Usai Pilpres AS Rupiah Paling Diburu Investor

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 November 2020 13:41
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah memang sedang mengalami koreksi dalam 3 hari terakhir, tetapi sejak pekan lalu sebenarnya melesat tajam. Sebelum melemah sejak hari Rabu, rupiah mencatat penguatan 6 hari beruntun, dengan total lebih dari 4%.

Hasil survei Reuters menunjukkan rupiah menjadi salah satu mata uang yang menguat tajam selepas pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS). Artinya, rupiah menjadi salah satu mata uang yang diburu para investor.

Selain rupiah, ada real Brasil, rubel Rusia hingga peso Meksiko yang menguat tajam.

Real memimpin dengan penguatan 6,1%, kemudian rubel Rusia 5,2%, peso Meksiko 4,9%, baru rupiah dengan penguatan 4,2%.

idrFoto: Refinitiv

Pemicu utama penguatan mata uang tersebut adalah kemenangan Joseph 'Joe' Biden dari Partai Demokrat dalam pilpres AS melawan petahana Donald Trump dari Partai Republik.
Kemenangan Biden dianggap menguntungkan negara-negara emerging market seperti Indonesia, sebab perang dagang AS-China kemungkinan akan berakhir atau setidaknya tidak memburuk.

Analis dari Citi memprediksi kemenangan Joe Biden ke depannya dolar AS akan melemah dan mata uang emerging market akan menjadi yang paling diuntungkan. Alasannya, seperti yang disebutkan sebelumnya, perang dagang dengan China kemungkinan akan berakhir, selain itu pemerintahan akan kembali konvensional.

"Mungkin perdagangan internasional yang paling terlihat pasti usai pilpres. Kebijakan luar negeri AS akan lebih bisa diprediksi tanpa ancaman kenaikan bea impor. Kami melihat penurunan dolar AS, dan penguatan mata uang emerging market," tulis analis Citi, sebagaimana dilansir CNBC International.

Hal senada diungkapkan Adam Margolis, kepala strategi valuta asing, komoditas dan suku bunga di JPMorgan Private Bank, dalam acara "Street Signs Asia" CNBC kemarin. Menurutnya kemenangan Biden mengurangi risiko geopolitik yang terjadi. Pelaku pasar dikatakan mencari peluang untuk mengurangi eksposur dolar AS. 

Selain itu, stimulus fiskal yang akan digelontorkan juga akan lebih besar ketimbang yang akan digelontorkan Trump dan Partai Republik.

Nancy Pelosi, Ketua House of Representative (DPR) dari Partai Demokrat sebelumnya mengajukan stimulus fiskal dengan nilai US$ 2,2 triliun, yang tidak disepakati oleh Pemerintahan Trump, dan ditolak oleh Partai Republik.

Semakin besar stimulus artinya semakin banyak uang yang beredar di perekonomian, secara teori dolar AS akan melemah.

Negara-negara emerging market seperti Indonesia juga berpotensi kecipratan aliran modal.

 

Aliran investasi memang deras mengalir ke dalam negeri. Data Bank Indonesia menunjukkan pada periode 2-5 November 2020, transaksi nonresiden di pasar keuangan domestik membukukan beli neto Rp3,81 triliun. Rinciannya, beli neto di pasar SBN sebesar Rp3,87 triliun dan jual neto di pasar saham sebesar Rp 60 miliar.

Sementara data dari Bursa Efek Indonesia menunjukkan sepanjang pekan lalu, investor asing melakukan aksi beli (net buy) sebesar Rp 1,2 triliun. Sepanjang pekan ini bahkan lebih besar lagi, sekitar Rp 4,6 triliun masuk ke pasar saham dalam negeri.

Sementara dari pasar obligasi, lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara pada Selasa (10/11/2020) lalu kelebihan permintaan (oversubscribe) 2 kali lipat dengan total penawaran yang masuk sebesar Rp 22,6 triliun, lebih tinggi dari penawaran yang masuk dalam lelang 2 pekan sebelumnya Rp 20,9 triliun.

Target indikatif yang ditetapkan sebesar Rp 10 triliun, dan dimenangkan dengan nilai yang sama.

Besarnya aliran modal ke negera-negara emerging market tidak lepas dari imbal hasil (yield) yang relatif lebih tinggi ketimbang negara-negara maju.

Di Indonesia, yield SBN tenor 10 tahun berada di kisaran 6,3%, tentunya sangat jauh dengan obligasi AS (Treasury) tenor yang sama yang hanya 0,87%. Belum lagi jika memperhitungkan inflasi, yield tersebut bisa lebih rendah lagi.

Yiled obligasi Brasil tenor 10 tahun lebih tinggi dari Indonesia, yakni 7,6%, sementara Rusia lebih rendah di kisaran 5,8%, begitu juga Meksiko 5,7%. Sehingga wajar jika negara-negara tersebut juga menikmati capital inflow yang membuat mata uangnya menguat.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular