
BI Beri Ruang Penguatan, Awas Dolar.....Rupiah Siap Ngamuk!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah ditutup menguat pada perdagangan Kamis kemarin (5/11/2020) di level Rp 14.380 per US$ dan menjadi mata uang terbaik di Asia.
Jalan penguatan rupiah juga akan semakin lapang, terutama bila melihat indikasi kurs NDF (Non-Delivery Forward) yang diperdagangkan di pasar keuangan luar negeri yang turun tajam, bahkan tembus di bawah Rp 14.300/US$ tadi malam di sesi perdagangan New York.
Penguatan rupiah ini karena melemahnya dollar dalam skala global di tengah penantian Pilpres AS. Indeks dollar atau DXY turun tajam dari level 94 ke 92 pagi ini.
Melemahnya dolar AS ini karena investor mulai melirik lagi aset keuangan negara berkembang setelah indikasi semakin kuat kemenangan Joe Biden dalam pemilu AS, melawan sang petahana Donald Trump.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah, ketika dihubungi CNBC mengatakan otoritas moneter akan memberi ruang bagi mata uang Garuda ini.
"BI akan memberikan ruang bagi rupiah untuk berlanjut menguat sesuai nilai fundamental nya," kata dia Jumat (6/11/2020).
Level nilai tukar saat ini di Rp 14.380 dinilai masih undervalued sehingga masih memiliki ruang untuk terus menguat sejalan dengan neraca perdagangan yang membukukan surplus dalam beberapa bulan terakhir.
Hal ini sejalan dengan melemahnya impor, namun di sisi lain eksportir mengalami peningkatan terutama ekspor komoditas.
Dengan demikian, secara keseluruhan neraca transaksi berjalan (current account) juga diperkirakan akan beralih surplus di triwulan III/2020 ini, setelah defisit US$ 2,9 miliar di triwulan II/2020.
Bila memperhitungkan inflasi di September 2020 yang hanya 0,07% atau 1,44% year to date, dan dengan perkiraan akan berada di batas bawah target inflasi 2020, maka secara perhitungan real, nilai tukar rupiah saat ini masih "sangat undervalued" atau terlalu murah.
Dia mengatakan, rupiah seharusnya juga masih bisa menguat kalau memperhitungkan yield differential. Yield SBN 10 tahun saat ini meski turun ke 6,50% masih jauh lebih tinggi dibandingkan yield obligasi negara peer Asia.
Tidak heran bila kemarin investor global mulai memburu lagi SBN. Tercatat ada sebesar Rp 4,5 triliun SBN yang dibeli investor asing kemarin.
Selain itu, katanya, dari sisi global, langkah the Fed, atau bank sentral AS, yang diperkirakan akan terus menempuh quantitative easing (QE) akan membuat likuiditas dollar membanjiri pasar keuangan global dan merembes ke negara berkembang.
Terakhir komitmen the Fed akan terus melakukan pembelian obligasi pemerintah AS sebesar US$ 120 miliar per bulan, yang berarti likuiditas dolar akan semakin melimpah di pasar.
Ditambah lagi bila stimulus fiskal AS sebesar US$ 2,2 triliun bergulir di masa pemerintahan Biden, jika wapres era Presiden Obama itu memenangkan Pilpres AS.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS