Percaya Deh, Rupiah Perkasa Jika Biden Jadi Presiden Amerika!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 November 2020 15:32
Joe Biden dari Partai Demokrat berbicara Dalam Debat Capres AS dengan Donald Trump dari Partai Republik (AP Photo/Julio Cortez)
Foto: Joe Biden dari Partai Demokrat berbicara Dalam Debat Capres AS dengan Donald Trump dari Partai Republik (AP Photo/Julio Cortez)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemilihan presiden (pilpres) di Amerika Serikat (AS) sudah di depan mata. Perhatian pelaku pasar tentunya tertuju pada siapa yang akan menjadi orang nomor 1 di Negeri Adikuasa. Maklum saja, segala macam kebijakan yang diambil pemerintah AS tidak hanya berdampak di negaranya, tetapi bisa berdampak secara global, khususnya di pasar finansial.

Pasar finansial Indonesia tentu saja juga terkena dampaknya, reaksi pasar terhadap siapa yang memenangi pilpres kali ini tentu saja akan berbeda.

Pilpres kali ini mempertemukan antara petahana dari Partai Republik, Donald Trump, dan penantangnya dari Partai Demokrat, Joseph 'Joe' Biden, yang juga merupakan mantan wakil presiden era Presiden Barrack Obama 2009-2017.

Seandainya Trump kembali memenangi pemilu kali ini, tentunya tidak akan ada perubahan signifikan dari kebijakan yang diterapkan saat ini. Perang dagang dengan China misalnya, masih akan tetap berkobar. Kemudian, dari segi perpajakan tentunya tidak akan berubah, setelah dipangkas pada periode pemerintahannya saat ini.

Sementara jika lawannya, Joe Biden, yang memenangi pilpres, bisa dipastikan akan ada perubahan kebijakan. Perang dagang dengan China kemungkinan tidak akan berkobar lagi, sementara pajak kemungkinan akan dinaikkan.

Melihat kemungkinan kebijakan yang akan diambil, kemenangan Biden akan lebih menguntungkan bagi Indonesia. Sebab, perang dagang dengan China kemungkinan akan berakhir.

Seperti diketahui, perang dagang AS-China yang dikobarkan oleh Presiden Trump sejak tahun 2018 membuat perekonomian global mengalami pelambatan signifikan, termasuk juga pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat.

Melansir data Refinitiv, di tahun 2018 saat perang dagang berkobar, rupiah mengalami pelemahan sekitar 6% melawan dolar AS di Rp 14.375/US$. Bahkan, pada Oktober 2018, rupiah sempat menyentuh level Rp 15.230/US$ atau melemah lebih dari 12% secara year-to-date (YtD).

Jika dilihat lebih ke belakang, rupiah langsung KO setelah Donald Trump memenangi pilpres di pada 8 November 2016. Saat itu, kurs rupiah berada di level Rp 13.083/US$, setelahnya langsung merosot di akhir November berada di level Rp 13.550/US$ atau merosot sekitar 3,5%.

Sejak saat itu, rupiah tidak pernah lagi mencapai level Rp 13.000/US$.

Selain berakhirnya perang dagang, jika Biden dan Partai Demokrat akhirnya berkuasa, pajak korporasi di AS akan dinaikkan. Hal itu justru berdampak bagus bagi Indonesia, sebab berpotensi membuat para investor akan mengalirkan modalnya ke negara emerging market. 

Kemudian, dari segi stimulus fiskal, Biden tentunya akan menggelontorkan dengan nilainya lebih besar ketimbang Trump dan Partai Republik. 

Nancy Pelosi, ketua House of Representative (DPR) dari Partai Demokrat sebelumnya mengajukan stimulus fiskal dengan nilai US$ 2,2 triliun, yang tidak disepakati oleh Pemerintahan Trump, dan ditolak oleh Partai Republik.

Semakin besar stimulus artinya semakin banyak uang yang beredar di perekonomian, secara teori dolar AS akan melemah. Belum lagi jika Indonesia kecipratan capital inflow akibat stimulus tersebut, tentunya rupiah akan semakin perkasa.

Hasil riset JP Morgan yang dirilis pada 29 Oktober lalu juga menunjukkan negara-negara emerging market akan diuntungkan jika Biden menjadi orang nomor 1 di Negeri Paman Sam. Sebab kebijakan perdagangan yang diambil dikatakan tidak impulsif.



Secara nasional, hasil survei menunjukkan Joe Biden unggul cukup jauh dari Donald Trump, tetap di 6 negara bagian yang menjadi battleground, keunggulan tersebut menipis.

Survei terakhir yang dilakukan oleh NBC News/Wall Street Journal secara nasional menunjukkan Joe Biden masih diunggulkan dengan memperoleh 52% suara dalam survei tersebut, sementara Donald Trump 42%.

Namun, pilpres di AS menggunakan sistem electoral vote, dimana setiap negara bagian memiliki jumlah suara yang berbeda-beda, kandidat yang memenangi suara di negara bagian tersebut akan memperoleh semua electoral vote.

Kandidat yang memperoleh electoral vote terbanyak akan menjadi presiden AS, meski kalah dalam suara publik (popular vote), seperti yang terjadi pada 2016 lalu. Saat itu Donald Trump memenangi electoral vote, dan lawannya Hilary Clinton memenangi popular vote. Alhasil, Donald Trump menjadi Presiden AS ke-45

Oleh karena itu, negara bagian yang menjadi battleground bisa menjadi kunci kemenangan, sebab banyak ada swing voter.

idrFoto: CNBC International

Dari 6 wilayah battleground, Biden masih unggul, tetapi keunggulan tersebut menipis. Melansir CNBC International, di Arizona Biden unggul 50%, sementara Trump 47%, Florida Biden 51%, Trump 48%, Michigan Biden 51, Trump 44%, North Carolina biden 49%, Trump 47%, Pennsylvania, Biden 50%, Trump 46%, dan Winconsin, Biden 53%, Trump 45%.

Pada pilpres tahun 2016 lalu, Trump memenangi enam wilayah battleground tersebut.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular